menuju-Mu

Rabbana, diriku hanyalah setitik debu di hadapan keagunganMu.
Maka jagalah hati ini,
dari terlihat besar di mata manusia
namun kecil di mataMu
dari terasa baik di mata manusia
namun hina di mataMu
dari merasa benar di mata manusia
namun salah di mataMu
Jadikanlah aku lebih baik dari persangkaan diri dan orang lain

Jumat, 30 Desember 2011

Sekali Lagi tentang Sholat Malam

“Aku diuji 4 hal yang menguasai jiwaku agar aku menderita dan sengsara, yaitu: iblis, dunia, kelemahan jiwa, dan jebakan nafsu.”
Sebuah perkataan yang bisa menjadi bahan perenungan kita. Tidak saya temukan sumbernya namun tak ada salahnya kita camkan dan kita ingat-ingat selalu.
Saudaraku yang dicintai Allah                                                                                 
Dan memang begitulah, sepanjang perjalanan kehidupan seorang mukmin musuh-musuh yang empat ini tidak pernah berhenti menyerang dan berusaha menjatuhkan kita. Membelokkan kita dari jalan yang kita bangun sedikit-sedikit dan tertatih-tatih dengan harapan jalan itu bermuara ke surga. Bukankah surga impian kita semua? Sesungguhnya Allah tidak menyediakan bagi kita tempat kembali selain surga atau neraka, kenikmatan atau kesengsaraan. Tak ada pilihan ketiga (aduh, saya gak mungkin ke surga deh, biar aja deh Ya Allah, di terasnya surga aja gakpapa…atau di halaman yang bukan surga atau neraka juga gak papa. Sayangnya tidak. Tidak ada. Yakinlah itu).
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Alhamdulillah kita sudah ditakdirkan lahir sebagai muslim. Setidaknya, seburuk apapun kualitas keislaman kita, kita sudah berada di jalur yang benar. Jalan Islam yang kita berdiri di atasnya sekarang ini sudah jelas menuju ke surga. Tinggal bagaimana kita menjaga agar arah langkah kaki kita ini tidak nyeleneh kemana-mana. Atau walaupun kemanusiawian  kita seringkali membuat kita tersesat ke gang-gang kecil gelap yang nyerempet-nyerempet hangatnya percik-percik api neraka setidaknya kita tetap punya peta di tangan kita. Kita telah menggenggam road map yang benar. Ini modal awal yang besar. Tinggal perjuangan dan kesungguhan kita yang menentukan apakah nantinya kita layak Allah beri rahmat ataukah azab.
Nah, kembali pada gangguan-gangguan yang 4 tadi. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa salah satu senjata ampuh yang bisa kita andalkan dalam peperangan tiada akhir ini adalah shalat malam. Sedikit saja penjelasan. Qiyamul lail berasal dari kata qiyam yang artinya berdiri dan lail yang artinya malam, sehingga ulama mengartikan qiyamul lail itu sebagai berdiri di waktu malam atau mendirikan atau menghidupkan malam atau berdiri untuk sholat di waktu malam. Jadi qiyamul lail adalah apapun yang bisa menghidupkan malam kita dekat dengan Allah.  Mengenai sholat tahajjud  artinya salat malam setelah tidur sejenak. Tahajud berasal dari bahasa Arab tahajjud, dari kata dasar hajada yang berarti tidur dan juga berarti salat di malam hari atau menjauhi tempat tidur. Orang yang melakukan salat malam disebut haajid. Jadi bertahajud artinya melakukan salat sunat di malam hari, setelah tidur. Semua salat sunat yang dikerjakan di malam hari setelah tidur, dengan demikian, disebut salat tahajud atau salat malam (shalatullail). Jadi kalau bisa saya sederhanakan di sini maka shalat tahajjud itu adalah salah satu bentuk ibadah yang bisa kita kerjakan dalam rangka qiyamul lail. Walaupun memang ada sebagian ulama menyatakan bahwa qiyamul lail ya sholat tahajjud itu. Nah saudaraku, mari kembali ke jalan menuju surga kita, tidak usah mampir di gang perdebatan tentang definisi kata dan bahasa. Pada kesempatan ini, kita batasi pembahasan ini mengenai shalat tahajjud.
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Pernah antre? Betapa melelahkan bukan? Apalagi menjelang lebaran seolah tiada hari tanpa antre. Antre nya saja sudah cukup menguji kesabaran, karena tak seorangpun senang menunggu. Apalagi ketika antrenya masih harus ditambah lagi dengan berdesak-desakan dan adu otot, ya kan ? Di loket kereta api, di kasir department store, di loket karcis sepakbola, di rumah saudagar kaya yang membagikan sembako, bahkan di toilet masjid. Pendeknya antre itu tidak menyenangkan.
Dunia kita ini, saudaraku, adalah dunia tempat segalanya diukur dari indikator kebendaan, materi. Indikator paling lumrah dan paling mudah tentu saja uang. Nah, untuk orang-orang yang memiliki lebih banyak uang mungkin tidak perlu antre. Dimana-mana sekarang ada layanan VIP. Very Important People :Orang Sangat Fenting. Di bank-bank biasanya menyediakan VIP room, sejuk, kursinya empuk, diperuntukkan bagi nasabah-nasabah kelas kakap yang ingin bertransaksi atau keperluan lain dengan bank. Kita tidak akan pernah menjumpai mereka dalam antrian. Bahkan terkadang ada layanan pick-up, mendatangi nasabah di rumah atau di kantornya dan kepentingan si nasabah bisa langsung dilayani di meja kerjanya sendiri atau sekalian di meja makan rumahnya tanpa mempedulikan si nasabah belum sikat gigi ataupun cuma pakai sarung.
Maka ketahuilah, tidak berlebihan kiranya kalau waktu sepertiga malam terakhir itu bisa kita ibaratkan VIP room- nya Allah. Mari saya kutipkan perkataan seorang sufi “Dalam kegelapan malam orang-orang bertakwa akan berjalan lebih cepat, dan orang yang berjalan lebih cepat akan segera sampai ke rumahNya”.Tidak ada saat yang buruk.Ibadah itu dilakukan kapanpun tetaplah ibadah. Ketika ia sudah berangkat dari niat yang ikhlas dan tatacara yang shahih sesuai tuntunan Rasulullah tentulah ia akan bernilai dan tercatat di lembar amal kita sebagai amal shalih.
Di dunia ini ada orang yang muslim, ada yang kafir. Diantara orang-orang muslim itu ada orang-orang mukmin. Di dalamnya pula ada yang taqwa ada yang fasik. Dan diantara yang taqwa itu ada orang-orang spesial. Special people. VIP. Orang Sangat Fenting. Tapi kali ini tidak dengan indikator money, tapi ruhani. Di siang hari semua sholat Dhuha, baik yang karena mengejar pahala maupun yang karena mengejar simpati calon mertua karena kebetulan sedang bertamu ke rumah calon suami. Di siang hari semua sholat Jumat, baik yang ikhlas mengejar surga maupun yang cuma gak enak karena bos ternyata orang yang rajin sholat Jumat. Tapi di malam hari, di sepertiga malam terakhir. Saat kita cuma sendirian sebagaimana dulu kita dilahirkan, sendirian sebagaimana kita nanti akan dibangkitkan Insya Allah. Saat mertua sudah tidur, bos sudah tak ada lagi, saat tetangga kiri kanan sudah terlelap, saat tak ada lagi alas an untuk orang-orang yang riya’ beribadah, orang-orang spesial ini bangun.  Sulit memang. Teramat sulit kadang. Apalagi disaat cuaca dingin berangin seperti sekarang.  Apalagi ketika kita tak sempat rebahan barang sejenak sepanjang siang karena membantu tetangga hajatan.  Apalagi dengan perut kekenyangan sehabis ditraktir bebek goreng. Hanya orang-orang special, VIP, orang sangat fenting, yang mampu berjuang bangun, melawan pusing dan kantuk, yang mampu menghadirkan kesadaran bahwa inilah jalan tol dimana ia bisa lebih cepat menghampiri rahmat dan ampunan Allah.
Dalam rangka membangkitkan kerinduan itu dalam hati kita, maka mari kita kembali mengkaji apa saja yang ada di balik shalat tahajjud ini, ada yang Allah anugerahkan sebagai karunia di dunia dan ada yang Allah simpan untuk nanti insya Allah kita dapatkan di kehidupan kita setelah ini:
Lima keutamaan di dunia:
  • Akan dipelihara oleh Allah SWT dari segala macam bencana.
Dalam bahasa inggris kata yang paling dekat artinya dengan bencana adalah disaster. Sesuatu dikategorikan disaster ketika kejadian itu membawa/menimbulkan kerusakan yang cukup berarti. Ketika sebuah bencana terjadi, apapun itu, maka seluruh rencana dan peta hidup yang telah kita persiapkan seolah runtuh dan berantakan karena daya hancur bencana itu memang begitu tiba-tiba dan kuat. Contoh paling mudah mungkin bencana alam. Tsunami di Aceh adalah bencana nasional bahkan internasional. Bukan hanya sebuah tempat bernama Aceh yang hancur, tapi juga sebuah peradaban. Bagaimana tidak, sebuah kehidupan disapu bersih dalam satu hentakan. Itulah kekuatan Allah. Teramat mudah bagi Allah meluluhlantakkan seluruh kehidupan kita, seluruh kedigdayaan kita, seluruh tabungan kita selama bertahun-tahun. Mudah bagi Allah metsunami rumahtangga kita. Me-tsunami kesehatan kita. Maka berlindunglah kepada Zat yang Maha Kuat itu. Pasrahkan nasib kita, rendahkan diri kita yang memang rendah ini di ujung malam. Insya Allah, Allah akan menghindarkan hidup kita dari bencana apapun. Bencana yang tiba-tiba dan tak sanggup kita tanggung. Atau kalaupun bencana itu memang telah jadi takdir dan jatah kita, maka semoga dengan istiqomah munajat di akhir malam Allah menjadikan bencana itu wasilah kemuliaan bagi kita, bukan hukuman.
  • Tanda ketaatannya akan tampak kelihatan di wajahnya.
Isi buku dapat diketahui dari judulnya. Tidak ada bukan, buku yang judulnya “Siksa Kubur” ternyata setelah dibuka isinya resep-resep masakan Padang misalkan. Begitulah manusia. Wajahnya adalah cerminan jiwanya. Bukan harfiah wajahnya tentu, tapi lebih kepada aura atau air muka wajahnya. Pernahkan saudara bertemu bertemu seseorang yang terlihat begitu menyenangkan, menyejukkan, sangat menarik, walaupun mungkin secara ukuran fisik tidak begitu jelita atau ganteng? Sebaliknya pula banyak wajah-wajah cantik atau tampan yang entah kenapa tidak menyenangkan dan menyejukkan dilihat. Apalagi kalau secara fisik memang rupawan ditambah airmuka yang menyenangkan tentu lebih sempurna.
Berkata Imam Ibnul Qayyim di buku Raudha Ath-Thalibin., Sesungguhnya shalat malam itu dapat memberikan sinar yang tampak di wajah dan membaguskannya
Ulama zuhud Al Bashri pernah ditanya “Apa sebabnya orang-orang yang rajin sholat tahajjud memiliki wajah yang lebih tampan atau cantik? Al Bashri menjawab ,”Karena mereka sering berduaan dengan Zat Yang Maha Indah sehingga Dia memberikan sebagian keindahan cahayaNya kepada mereka.”
  • Akan dipuji dan dicintai Allah serta digolongkan ke dalam golongan hambanya yang baik
“Dan pada sebagian malam, shalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”(QS.Al Isra’ [17]:79)
Pujian itu sangat menyenangkan. Tidak salah. Fitrah manusia memang senang diakui dan dipuji. Selamanya kita adalah makhluk yang senang akan pujian dan keterpujian. Tidak bisa kita ubah. Yang bisa dan harus kita ubah adalah berhenti mengharap pujian makhluk dan berjuang mendapatkan pujian dari sang Maha Terpuji.
 Cinta itu tidak boleh bertepuk sebelah tangan, tidak enak rasanya. Cinta itu indah jika berbalas dan bersambut. Maka tugas kita tidak hanya mencintai Allah tapi juga berusaha keras agar dicintai Allah. Semua tidak selesai dengan hanya memuji Allah tapi juga bagaiman agar kita bisa terpuji di hadapan Allah. Itulah hubungan yang sempurna. Mencintai dan dicintai. Dan Allah menjanjikan cinta dan pujian untuk orang-orang yang mendatangiNya di saat-saat spesial. Special moment for special people. Saat fenting untuk orang fenting. 
  • Lidahnya mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmah.
Kata-kata yang sama persis bisa berbeda kesannya ketika diucapkan oleh orang yang berbeda. Apa kuncinya? Pada bobot kata2nya. Pada apa yang ada di balik kata-kata itu. Perkataan seorang ahli ibadah tentu akan berbeda dengan perkataan ahli maksiat. Sebuah perkataan dipengaruhi oleh 2 hal. Yang mengatakan dan yang menerima. Kata-kata yang baik ibarat bibit unggul. Dan hati atau telinga yang menerima ibarat tanah lading. Bibit unggul jatuh di tanah yang subur ia akan tumbuh sehat dan cepat.Menjadi pohon iman yang rindang dan kokoh. Bibit yang buruk di tanah yang subur atau bibit yang baik di tanah yang tandus mungkin juga bisa tumbuh walaupun memang tak akan sekokoh yang pertama. Apalagi bibit yang buruk di tanah tandus, selamanya ia tetap tak menumbuhkan apapun.
Sebagai seorang ibu, sebenarnya kita sangat memerlukan lisan yang terjaga. Kitalah orang pertama dan paling sering didengar kata-katanya oleh anak-anak kita. Kita sangat membutuhkan kata-kata yang berbobot dan memiliki daya gugah demi menggiring anak-anak kita ke tujuan yang kita inginkan. Maka mari kita up grade kelas lisan ini dengan banyak-banyak bangun malam. Sholat dan doa yang khusyu’ dan panjang di sunyinya malam. Semoga dengannya Allah menjadikan kata-kata yang keluar dari lisan ini membawa manfaat, baik bagi orang lain maupun untuk nasib kita di akhirat.
Dari pengalaman pribadi memang saya merasakan benar pengaruh sholat tahajjud ini pada lisan. Ketika malam kita terjaga dan terisi dengan ibadah esok harinya insya Allah lisan kita lebih terkontrol. Berbeda ketika malam terlewat sampai Subuh menjelang, apalagi sampai Subuh pun terlewat maka kata-kata itu seolah berdesakan dan berebut untuk melompat dari bibir kita tanpa kita sanggup mengontrolnya.  
  • Akan dijadikan orang yang bijaksana, yakni diberi pemahaman dalam agama.
Ketika Allah menghendaki kebaikan untuk seseorang maka Allah akan membukakan pintu ilmu dan hikmah kepadanya. Itu artinya memang ilmu seringkali adalah pintu pertama menuju kebaikan dan ketaqwaan.
Pertemuan kita juga insyaAllah dalam rangka ilmu. Kita mencari ilmu, Tapi  hanya Allah jua yang memahamkan. Ada jarak yang lebar antara tahu dan paham. Tahu itu bisa diusahakan tapi kepahaman semata hak Allah untuk memberikan. Maka hidupkanlah malam-malam kita, dengan harapan Allah akan menghindarkan kita dari terus menerus tahu melulu tapi tak pernah paham. Dari terus menerus menumpuk ilmu tapi tak jua tergerak mengamalkan. Atau berilmu tapi tak pernah mau berbagi ilmu laksana pohon yang tak kunjung berbuah.
Apa sih perbedaan mendasar antara tahu dan paham? Manfaatnya. Orang yang paham maka ilmunya mendatangkan manfaat baik bagi dirinya maupun orang-orang di sekelilingnya, bahkan bagi alam sekitarnya. Orang yang sekedar tahu maka ilmunya tak mendatangkan manfaat apapun bahkan naudzubillah ilmunya bahkan bisa melahirkan kerusakan. Orang-orang yang korupsi bukan orang-orang yang tak berilmu kan?
Sedangkan empat keutamaan di akhirat, yaitu :
  • Wajahnya berseri ketika bangkit dari kubur di hari pembalasan dan dibangkitkan dari tempat yang terpuji
Tidak sepenuhnya salah ketika kesan pertama terhadap seseorang yang baru kita temui banyak dipengaruhi oleh wajah dan tampilan fisiknya karena memang itulah yang tersaji di hadapan mata ini. Tampilan fisik semata adalah pemberian Allah yang tidak bisa kita tawar. Yang cantik, yang imut, yang tinggi, yang pendek, semuanya untuk menguji kita. Mampukah kita menyikapi tampilan fisik kita dengan tepat.
Setelah jatah usia kita di dunia berakhir maka berakhir pulalah identitas kita sebagai bu A yang istri pejabat, sebagai mbak B yang cantik manis. Karena kita semua akan dibangkitkan dengan tampilan baru sesuai dengan kondisi batin kita. Menjawab pertanyaan Muadz  bin Jabal, Rasulullah menjelaskan bahwa ada segolongan ummatnya yang akan dibangkitkan dengan kondisi bisu, tuli, atau buta. Sebagian berwajah seperti kera, seperti babi. Sebagian berjalan terbalik dengan kaki di atas sedangkan wajahnya di bawah terseret-seret, sebagian ada yang beraroma sangat busuk dengan lidah menjulur mengeluarkan cairan yang sangat tidak sedap aromanya.
Maka apa lagikah yang menghalangi kita untuk bangun di sepertiga malam demi mengharap janji Allah bahwa ahli tahajjud akan dibangkitkan dengan wajah berseri?
  • Akan mendapat keringanan ketika di hisab.
Sungguh hisab Allah itu maha teliti dan tak melewatkan sedetikpun perhitungan usia kita. Dengan perbandingan sehari di mahsyar sama dengan 50.000 tahun dunia maka kita bisa mengira-ngira sepanjang apa masa kehidupan kita di sana nanti, tentu masa hidup kita dunia ini ternyata bagaikan sekedipan mata saja. Proses perhitungan  itu tidak saja panjang tapi sungguh-sungguh mendebarkan. Seluruh yang kita rahasiakan akan dibuka, seluruh yang kita tutup-tutupi akan dihitung dan dinilai. Itu urusan kita dengan Allah saja. Belum lagi, urusan kita dengan manusia yang belum kita tuntaskan sewaktu di dunia. Hutang piutang, ghibah, fitnah, khianat, dan lain sebagainya. Sungguh saudaraku, benar-benar kita sangat menyia-nyiakan kesempatan untuk dimudahkan dalam proses maha sulit itu kalau kita lebih memilih kehangatan selimut disbanding beberapa rakaat yang bisa memnelamatkan kita di hari perhitungan nanti.
Maka bersimpuhlah di malam-malam kita, mengharap dengan sungguh-sungguh agar Allah memudahkan urusan kita nanti. Menutup aib-aib kita, melipatgandakan amal-amal kita, menghapus catatan keburukan kita. Hanya disinilah kesempatan itu ada, sebelum kita melewati pintu kematian.
  • Ketika menyeberangi jembatan Shirotol Mustaqim, Allah mempercepat bak halilintar menyambar.
“Sebarkanlah salam, berilah makan (orang-orang yang membutuhkan), sambungkanlah silaturrahmi, dan sholatlahpada malam hari ketika orang lain sedang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.”(HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Ujian keimanan kesekian setelah gelapnya alam kubur, panasnya padang Mahsyar, dan sulitnya pehisaban amal adalah titian shirot. Titian yang menurut riwayat setipis rambut dibelah tujuh, dengan duri-duri pengait di sepanjangnya, neraka menyala dibawahnya. Begitu panjang, bahkan mungkin panjangnya lebih panjang dari usia kita selama hidup di dunia. Gelap tanpa lampu kecuali seberkas cahaya yang dibagikan kepada kita, itupun tidak menjamin terus menyala, ada yang di tengah jembatan cahaya itu padam sehingga kita melanjutkan penyeberangan dengan merangkak dan meraba2. Sungguh demikian sulit kondisi saat itu nanti.
Maka mungkin kesadaran tentang sulitnya penyeberangan itu sudah cukup untuk membuat kita tak lagi terlena dengan nikmatnya kasur dan selimut. Hanya beberapa rakaat di penghujung malam, itupun hanya di dalam rumah kita yang hangat, di atas sajadah kita yang empuk dan wangi, berselimut hangatnya mukenah mahal kita, sungguh tak sebanding dengan dahsyatnya huru-hara sirothol mustaqim.
  • Tinggal di taman-taman surga
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam (taman-taman) surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu adalah orang2 yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam;dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”(QS.Adz Dzariyat[51]:15-18)
Maka itulah tujuan terakhir kita. Di sanalah rumah kita yang sebenarnya, saudaraku. Surga. Atau neraka. Sekali lagi yang perlu digaris bawahi: tak ada tempat ketiga
Mengenai tatacara sholat Tahajjud insya Allah saya yakin kita semua sudah tidak asing ya. Namun tak ada salahnya saya segarkan kembali. Dalam sebuah riwayat oleh Aisyah ra, bisa dikelompokkan menjadi 4 cara yang biasa dilakukan Rasulullah dalam menunaikan sholat Tahjjud.
1.       Cara Pertama
“Dari Saad bin Hisyam, sesungguhnya ia pernah bertanya kepada ‘Aisyah: Khabarkanlah kepadaku tentang witirnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa- sallam: Maka ‘Aisyah berkata: Kami biasa menyediakan untuk baginda gosok gigi dan air wuduknya, maka kemudian Allah akan membangunkan baginda jika Ia kehendaki untuk membangunkannya diwaktu malam. Kemudian baginda bersiwak lalu berwuduk, kemudian solat sembilan rakaat yang baginda tidak duduk (tasyahhud) di rakaat tersebut kecuali di rakaat yang kelapan, maka baginda duduk berzikir kepada Allah dan memujiNya, berdoa kepadaNya, kemudian baginda bangun dan tidak salam, kemudian baginda berdiri melanjutkan solatnya kerakaat yang kesembilan. Kemudian dirakaat yang kesembilan baginda duduk, berzikir, memujiNya dan berdoa (iaitu bertasyahhud), kemudian baginda ….”(HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Rasulullah melakukan sholat 8 rakaat tanpa tasyahud, baru pada rakaat ke-8 beliau duduk sambil berdzikir dan berdoa kepada Allah lalu bangkit tanpa mengucapkan salam. Lalu pada rakaat yang ke-9 beliau duduk, membaca tasyahud, lalu salam. Baru setelah itu, beliau sholat lagi 2 rakaat.
2.       Cara Kedua
Rasulullah memulai sholat malam dengan 2 rakaat yang ringan, lalu beliau menyempurnakan dengan tahajjud 11 rakaat dengan salam pada setiap 2 rakaat dan sholat witir 1 rakaat
3.       Cara Ketiga
“Dari ‘Aisyah berkata: Pernah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam solat malam tiga belas rakaat, baginda berwitir dari yang tiga belas rakaat dengan lima rakaat, baginda tidak duduk dalam solat witir yang lima rakaat tersebut kecuali pada rakaat yang terakhir”.(HR. Bukhari,Muslim, dan Ahmad)
Rasulullah melakukan sholat 8 rakaat dengan salam pada setiap 2 rakaat, lalu sholat witir 5 rakaat berturut-turut dan duduk tasyahud pada rakaat terakhir sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim
4.       Cara Keempat
Dari Zaid bin Khalid al-Juhani bahawasanya dia berkata: Aku pernah memerhatikan dengan teliti cara solat malamnya Rasulullah sallallahu‘alaihi wa-sallam. Baginda memulakan dengan dua rakaat yang ringan(pendek bacaannya), kemudian solat dua rakaat yang amat panjang(panjang bacaannya), kemudian solat dua rakaat yang kurang panjang dari sebelumnya, dua rakaat yang kurang panjang dari sebelumnya, kemudian solat lagi dua rakaat yang lamanya kurang dari dua rakaat yang sebelumnya, lalu solat lagi dua rakaat yang lamanya kurang dari dua rakaat sebelumnya, kemudian solat lagi yang lamanya kurang dari dua rakaat sebelumnya, kemudian baginda solat witir satu rakaat, maka semuanya tiga belas rakaat.” (HR.Muslim)
Rasulullah sholat 2rakaat-2rakaat, lalu sholat witir 3 rakaat sekaligus dengan 1 kali salam sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad
Selain yang saya sebut di atas masih banyak lagi hadits-hadits yang meriwaytkan bagaimana Rasulullah melaksanakan sholat tahajjud.  Jadi kalau boleh saya simpulkan bahwa memang tidak ada batasan pasti. Di kala lapang dan sehat kita bisa sholat lebih banyak, lebih lama, dengan membaca surat-surat yang panjang. Saat iman sedang sulit diajak ibadah kita bisa tetap bertahajjud walaupun hanya dengan 2 rakaat. Yang terpenting adalah tak ada malam yang kita lewatkan tanpa munajat kepada Allah.



Rabu, 21 Desember 2011

Hari Ibu = Mother's Day?

Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu dilatarbelakangi kongres perempuan pertama di tanggal dan bulan yang sama 82 tahun yang lalu. Kongres itu dianggap sebagai momentum kebangkitan eksistensi perempuan yang sebelumnya dianggap hanya penguasa dapur sumur dan kasur.

Mungkin karena namanya Hari Ibu maka semakin kesini peringatan Hari Ibu menjadi makin mirip dengan perayaan Mother's Day yang dirayakan di sejumlah negara Eropa dan Timur Tengah pada bulan Maret, atau pada hari Minggu pekan kedua bulan Mei di Amerika. Acara Mother's Day di sana identik dengan puja-puji terhadap status keibuan, kado-kadoan, dan membebaskan ibu dari tugas rutinnya selama hari itu. Hal ini menjadi lucu ketika kita melihat bahwa latar belakang penetapan Mother's Day tidak bisa dilepaskan dari tradisi lampau pemujaan terhadap Dewi Rhea, ibu para dewa dalam mitologi Yunani. Jadi ada kesenjangan teramat jauh antara sejarah penetapan Hari Ibu dengan Mother's Day, karenanya maka keduanya -semestinya- berbeda.

Pada masa-masa awal penetapannyapun Hari Ibu dimaknai dengan menggugah semangat perempuan untuk lebih gencar meningkatkan kualitas diri, inteletual maupun moral.

Lepas dari itu, tentu manifestasi peringatan Hari Ibu yang sekarang diejawantahkan dalam buket bunga, kado (besar sekali peran industri konsumerialisme dalam 2 item ini), atau puisi-puisi indah di atas kartu atau status jejaring sosial(padahal ibunya tidak punya akun jejaring sosial sehingga tidak mungkin bisa membacanya) bukanlah hal yang buruk. Semua ajaran agama bahkan naluri paling dasar kemanusiaan kita sangat memuliakan status ibu.

Sebagai muslim yang sudah dianugerahi pedoman terlengkap sepanjang zaman, maka kita menyikapi Hari Ibu sebatas peringatan, bukan perayaan karena kita berhari raya hanya pada 3 kesempatan : Idul Fitri, Idul Adha, dan Hari Jumat (lihat: Majmu Fatawa). Karena ia sekedar peringatan maka tentu kita tidak bijak menyikapinya secara berlebihan seolah-olah ia adalah perayaan. Peringatan adalah sekedar momentum (karena didukung atmosfer yang sedang kondusif) untuk mereview kembali kewajiban-kewajiban kita terhadap ibu dan sebagai ibu. Itu substansinya

Senin, 19 Desember 2011

Wonder Women...all the time

Bacalah...
Ada berjuta kisah
Wanita-wanita sholihah
Pencinta dan perindu Allah
Tempat kita mengambil ibrah
Bacalah...
Dalam sirah
Ada bunda Aisyah
Menyedekahkan seluruh roti satu-satunya penuh pasrah
Wanita terindah
Berpadu sempurna kecantikan wajah
Namun ketajaman fikirpun tidak kalah
Atau Rabiah al adawiyah
Jatuh cinta hanya kepada Allah
Berasyik maysuk dalam ibadah
Bacalah
Di negeri sebelah
Perempuan-perempuan berhati gagah
Mengirim satu demi satu putra-putra yang dilahirkan dan dibesarkannya dengan berpayah-payah
Terjun ke jalan berbekal batu melawan tank-tank zionis laknatullah
Lalu pulang dengan tangan kaki patah Berdarah-darah
Jangan kau pikir mudah
Bacalah
Beribu buku-buku indah tulisan saudara kita sesama muslimah
Berkarya dari rumah
demi takut menjadi pohon tak berbuah
Atau teman-teman ukhti fillah
Senantiasa menemani dalam tausiyah
Mereka tak pernah lelah
menetapi kewajiban dakwah
Menebar risalah
Membangun jalan istiqomah
Dengarlah
Ibu bersahaja tetangga sebelah
Telah lama melantun tilawah
Mengusik lelap kita yang kemudian tersungut-sungut bangun tahajjud demi mutaba'ah
Ah, malamnya begitu romantis dalam ibadah
Siangnya tak pernah kulihat ia kecuali tersenyum dan senantiasa berwajah cerah
Lihatlah
Wanita-wanita pembajak sawah
Walau nasib telah menempatkan mereka di lumpur basah
Diantaranya ada yang tetap tak goyah
Menjaga hijab menutup aurat tanpa membantah
Tanpa keluh kesah
Dan Malulah
Bagi yang hidup serba mudah
Namun mengaku tak jua bertemu hidayah
Catatlah
Hukum pernah mengenalkan Marsinah
Tak perlu berdebat ia benar atau salah
Satu pelajaran dari kaum lemah
Sebagai apapun takdir Allah
Berjuang dan bermanfaat tak kenal kata lelah
Menjadi peka lah
Pada bidadari-bidadari indah
Melesat cepat meninggalkan kita yang masih terseok seok melawan lengah
Bercanda dengan umur jatah
tak sudah-sudah
Lalu tapakilah
Jejak-jejak mereka yang tertinggal indah
Walau sungguh, sungguh teramat susah
Bertahanlah, bertahanlah...
Sampai ke al Jannah

Jumat, 09 Desember 2011

Syukur

Ketika diperintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam as, setan menolak perintah ini. Akibatnya ia diusir dan diancam menjadi penghuni neraka. Setan bukannya gentar, namun ia bertambah dendam kepada makhluk baru bernama Adam ini. Lalu ia bersumpah, akan sebanyaknya-banyaknya membuat anak keturunan Adam menemaninya di neraka. Ikrar setan itu Allah abadikan di Alquran
“Saya pasti (menghalang-halangi)mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya pasti menghalangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”(QS.Al-A’raaf:16-17)
Demi kemuliaanMu aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas diantara mereka.”(QS.Shad[38]:82-83)
Nah, Subhanallah! Ternyata selain bersumpah, entah sadar atau tidak setan sendiri telah membuka sendiri rahasia bagaimana menangkis godaan, tipuan, atau apapun yang akan dilancarkannya guna menggelincirkan kita dari jalan Allah ke neraka. Apa itu? Syukur dan Ikhlas. Hebatnya, Syukur dan ikhlas akan saling menyertai. Dua tabiat ini tak mungkin terpisahkan. Mustahil orang yang tidak bersyukur bisa bersifat ikhlas, dan hanya dengan ikhlas engkau bisa bersyukur. Hebatnya (lagi), setan tahu itu. Jadi setan sangat paham bahwa mayoritas manusia itu bukanlah makhluk yang pandai bersyukur, dan jalan paling afdhol dalam menjatuhkan manusia ialah lewat kurangnya sifat syukur ini.

Jadi apa arti syukur?
Kalau anda membuka kamus besar bahasa Indonesia, lalu mencari kata syukur, maka artinya adalah (1) rasa terimakasih kepada Allah, dan (2) untunglah, maksudnya menyatakan rasa lega, senang, dan sebagainya. Contohnya: Ketika mendengar tetangga kita kemalingan, lalu kita berucap ‘Untuuuuung…jadi posisiku sebagai orang terkaya di kampung ini aman!
Nah, alangkah rancunya kalau syukur diartikan seperti ini, bukan? Memang arti secara etimologi tidak selamanya sama dengan penggunaannya. Di dalam Alquran kata ‘syukur’ dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 64 kali.  Dalam kitab Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran kata ‘syukur’ berarti ‘gambaran dalam benak tentang kenikmatan dan menampakannya ke permukaan’. Akar kata syukur yaitu ‘syakara’ artinya menampakkan lawan dari ‘kafara’ menutupi.
Bagaimana cara bersyukur?
Syukur itu memiliki banyak dimensi. Saat keseluruhan dimensi itu terpenuhi, maka sempurnalah syukur kita. Yaitu syukur dengan hati, dengan lisan, dan dengan perbuatan.
1.       Syukur dengan hati
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.An Nahl[16]:18)

Ciri orang-orang yang bersyukur dengan hati itu adalah menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh semata-mata dari Allah

“Karena itu ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.”(QS.Al Baqarah:152)

Ketika seseorang telah tertanam keyakinan kuat di hatinya bahwa Allah saja asal muasal segala nikmat yang ia peroleh maka ia akan terhindar dari sifat sombong ketika Allah memberinya rizqi yang berlebih dibanding saudaranya. Ia tidak akan takabbur ketika Allah menakdirkannya menjadi orang berilmu atau berpendidikan tinggi. Ia tidak akan ujub ketika Allah memberinya kemampuan untuk menunaikan ibadah-ibadah sunnah yang untuk sebagian besar orang sulit dijalankan.
Maka tanamkanlah itu, saudaraku! Hujamkan dalam-dalam ke dalam dada bahwa tubuh ini adalah semata karunia-Nya, harta ini semata belas kasihnya, suami dan anak-anak yang sehat dan membanggakan adalah miliknya yang diizinkan untuk kita nikmati, rumah kita yang indah, kendaraan kita, apapun adalah pemberiannya. Maka ahli syukur itu terlalu sibuk memuji Allah, waktunya habis untuk bersyukur kepada Allah, sehingga tidak tersisa lagi untuk sombong, takabbur, atau ujub.


2Syukur dengan lisan

   Mengucapkan Alhamdulillah

Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azabKu sangat pedih.”(QS.Ibrahim [14]:18)
TTermasuk juga ketika kita mendapat pujian dari seseorang atas kebaikan, kecantikan, atau mungkin kepintaran kita maka ucapkanlah Alhamdulillah yang artinya semua pujian itu kita kembalikan kepada Allah swt karena semua kebaikan itu bersumber dari Allah. Begitupun ketika ada yang dinilai kurang dari fisik/lahiriah kita, kurang putih, kurang mancung, kurang pandai, kurang kaya, maka itu bukanlah alasan untuk tidak bersyukur karena penilaian-penilaian semacam itu adalah tolok ukur yang diciptakan manusia, dan manusia yang dihiasi hawa nafsu ini tentu sangat beragam tolok ukurnya.

PPandangan manusia itu terbatas, sehingga kekurangan kita sebenarnya bukanlah ‘kurang’ dalam arti yang sebenarnya melainkan ada kebaikan yang luput terlihat ketika mata manusia yang lemah ini menilai. Bukankah Allah tidak pernah menyatakan bahwa kulit terbaik itu adalah kulit putih? Allah tidak pernah menetapkan bahwa tinggi ideal itu minimal 170? Semua itu adalah ukuran-ukuran kemanusiaan yang tidak pantas membatasi syukur kita. Maka ucaplah Alhamdulillah, saudaraku. Untuk kulit kita yang tidak seputih ras Jepang, hidung kita yang tidak semancung bangsa Eropa, atau harta yang tak sebanyak Aburizal Bakrie misalkan. 

 Menyebut-nyebut pemberian Allah 

“Adapun nikmat Allah hendaklah kalian sebut-sebut dengan mengucapkan syukur…(QS.Ad Dhuha:11)

Mengingat-ingat dan menyebut dengan lisan selain menunjukkan rasa syukur juga bisa mengusir keresahan dan kesedihan. Seringkali memang untuk memotivasi diri kita perlu mengucapkan apa yang kita tekadkan di hati. Seperti perkataan buruk yang mempengaruhi hati, maka begitu pula perkataan-perkataan positif akan menguatkan dan membersihkan hati. Maka sebutlah nikmat Allah itu, saudaraku. Sebut dan ulangilah nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkannya pada kita, terutama di kala musibah, sedih, dan resah melanda agar hati ini ingat bahwa musibah kita terlalu kecil dibanding banyaknya nikmat Allah. Semoga dengan selalu mengingat dan menyebut nikmat Allah tidak ada celah sedikitpun untuk setan masuk dan membelokkan kita dari pintu tidak bersyukur

Menyampaikan kebenaran
Tidak semua orang seberuntung kita dilahirkan sebagai orang Islam, bayangkanlah orang-orang yang terlahir di dalam keluarga yang tidak dalam naungan akidah Islam, mereka harus berjuang untuk sampai pada kebenaran. Ketika telah menemukan kebenaran Islam, tantangan justru semakin berat karena mereka akan berhadapan dengan keluarganya sendiri, dengan komunitasnya. Bahkan ada seorang mualaf yang sampai diusir keluarganya, dicerai suaminya, karena ingin berada dalam naungan Islam. Nikmat Islam adalah nikmat terbesar, dan kita semua di sini mendapatkan itu gratis begitu kita lahir.

Begitupun, tidak semua orang Islam seberuntung kita digerakkan oleh Allah senang kepada ilmu, tidak semua wanita seberuntung kita bisa memiliki komunitas baik semacam majelis taklim. Di luar sana, ribuan wanita Islam masih juga belum sampai pada kesadaran yang membuat mereka paham bahwa agama kita bukan hanya sekedar sholat 5 waktu dan puasa Ramadhan.

Maka sebagai orang yang telah dianugerahi secercah pemahaman oleh Allah, bentuk syukurnya adalah dengan meneruskan kepahaman kita menjadi ‘memahamkan’ orang lain. Maka berbagilah, saudaraku. Bagilah ilmu dan indahnya iman ini kepada saudara-saudara kita, keluarga kita, pembantu kita, teman-teman kita.

 Syukur dengan perbuatan
Setelah seseorang bersyukur dengan lisan dan hatinya, maka biasanya anggota badannya/fisiknya akan menerjemahkan rasa syukur itu dalam bentuk amal. Rasa syukurnya akan menjadi bahan bakar yang terus memacu amal-amalnya. Bentuk syukur dengan perbuatan misalkan: 

  Ibadah 
“Aisyah berkata,’Engkau masih berbuat seperti ini padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa silammu dan dosa-dosamu pada masa mendatang.’ Rasulullah SAW bersabda,’Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?’”(HR.Bukhari Muslim)

Maka adakah contoh syukur yang lebih dahsyat dari ini? Seorang yang telah dijamin terampuni dosa masa lalu dan akan datang, seorang yang telah distempel ‘makshum’ masih bengkak kedua kakinya karena berdiri sholat Tahajjud yang sangat lama? Maka semestinya kita yang bergelimang dosa ini malu hati dan memacu diri untuk lebih serius menata ibadah kita. Tubuh sehat tidak akan selamanya milik kita, suatu saat ia akan renta menua, mata yang mulai lamur, jantung yang mulai melemah, sekaranglah kesempatan kita untuk memperbanyak ibadah.

Syukurilah harta dengan zakat, infaq, dan sedekah. Syukurilah nikmat penglihatan dengan membaca ayat-ayat Allah, buku-buku bergizi, dan memandang yang baik-baik. Syukurilah tangan ini dengan membelai kepala anak yatim, memeluk saudara kita yang tertimpa musibah

Sujud syukur 

“Dari Abu Bakar bahwa Rasulullah saw apabila menerima suatu hal yang menyenangkan atau diberi kabar gembira, segera beliau menunduk sujud sebagai tanda syukur kepada Allah Ta’ala.”(HR.Abu Dawud dan Tirmidzi)

Mengenai tatacara sujud syukur as Syaukani berpendapat,”Tidak ada sebuah haditspun yang menjelaskan bahwa untuk melakukannya disyaratkan untuk suci dari hadats. Juga tidak ada keterangan dari Rasulullah saw bahwa sujud syukur harus menghadap kiblat dan bertakbir.”

Dalam kitab al Bahr disebutkan bahwa sebelum sujud syukur diperlukan takbir. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa sujud syukur harus diawali takbir dan diakhiri salam. Sebagian yang lain berpendapat tidak usah.




Memahami Hari Asyura

Kisah di balik hari Asyura
 Ibu-ibu yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah swt, marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt. Yaitu dengan senantiasa bersemangat dalam mempelajari agama-Nya serta mengamalkannya. Karena dengan bertakwa kepada-Nya, Allah Swt akan menambahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat serta memberikan kepada kita bimbingan dan petunjuk-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarkan kepada kalian ilmu dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282)
Ketahuilah, bahwasanya Allah dalam banyak firman-Nya telah menceritakan kepada kita tentang kisah para nabi dan rasul-Nya. Dan Allah Swt telah memberitakan kepada kita bahwa pada kisah-kisah tersebut mengandung pelajaran yang sangat berharga bagi orang-orang yang mau merenungkannya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu (yaitu para nabi) terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Yusuf: 111)
Ibu-ibu rahimakumullah, di antara kisah penting yang Allah Swt sebutkan adalah kisah tentang Nabi-Nya, Musa ‘alaihissalam. Bahkan kisah ini Allah sebutkan secara berulang-ulang dalam berbagai surat dalam Al-Qur`an. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kisah ini untuk diketahui dan dipelajari. Kisah ini menceritakan tentang binasanya seorang penguasa zhalim yang diberi gelar Fir’aun. Disebutkan dalam kisah tersebut, Fir’aun adalah penguasa yang berbuat semena-mena dan zhalim kepada sebagian penduduknya. Dia membagi penduduknya menjadi dua golongan untuk kemudian memperlakukannya dengan tidak adil. Dia muliakan golongan yang berasal dari bangsanya dengan diberi kebebasan untuk melakukan apa yang mereka suka. Dan dia hinakan golongan lainnya, yaitu yang berasal dari Bani Israil yang pada saat itu mereka adalah sebaik-baik manusia. Terlebih setelah sampai berita kepada Fir’aun akan datangnya seorang dari keturunan Bani Israil yang akan menjadi sebab runtuhnya kekuasaannya. Segeralah dia mengutus orang-orangnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki dari Bani Israil yang dilahirkan pada masa itu.
Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya bergolong-golongan, menindas segolongan dari mereka (yaitu Bani Israil), menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuannya. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 4)
Ketika Musa lahir pada waktu itu, ibunya pun mengkhawatirkan keselamatan putranya. Namun Allah  menghendaki Musa selamat dari kezhaliman Fir’aun dan bala tentaranya. Bahkan Musa akhirnya hidup di tengah-tengah keluarga Fir’aun. Makan dan minum serta berpakaian juga mengendarai kendaraan sebagaimana yang digunakan oleh keluarga Fir’aun. Begitulah kekuasaan Allah, sehingga orang yang akan dijadikan sebagai sebab runtuhnya kekuasaan Fir’aun, justru hidup dan besar di lingkungan keluarganya.
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,sesungguhnya pertolongan Allah swt kepada wali-wali-Nya dari kalangan orang-orang yang beriman adalah pertolongan yang akan datang pada setiap masa dan setiap tempat di manapun mereka berada. Dengan pertolongan tersebut, Allah Swt tampakkan kebenaran dan Allah Swt hinakan kebatilan. Disebutkan dalam kisah tersebut, bahwa kemudian Allah  menjadikan Musa sebagai rasul-Nya. Namun ketika Allah  mengutus Musa untuk mendakwahi Fir’aun dan pengikutnya serta memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah  dan Rasul-Nya, Fir’aun pun menolaknya bahkan dengan sombongnya mengatakan: “Akulah tuhan kalian yang maha tinggi.” Allah menyebutkan dialog antara Musa ‘a dengan Fir’aun dalam firman-Nya:
Fir’aun bertanya: “Siapa Rabb semesta alam itu?” Musa menjawab: “Rabb Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Rabbmu), jika kamu sekalian (orang-orang yang) memercayai-Nya.” Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya (dengan nada mengejek): “Apakah kalian tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula): “(Dia adalah) Rabb kalian dan Rabb nenek-nenek moyang kalian yang dahulu.” Fir’aun berkata: “Sesungguhnya Rasul kalian yang diutus kepada kalian benar-benar orang gila.” Musa berkata: “Rabb yang menguasai timur dan barat serta apa yang ada di antara keduanya, (itulah Rabb kalian) jika kalian mempergunakan akal.” Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Ilah selainku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (Asy-Syu’ara: 23-29)
Disebutkan pula dalam kisah tersebut, bahwa ketika Fir’aun tetap di atas kekafiran dan kesesatannya, Allah  perintahkan Musa meninggalkan negeri tersebut. Namun ketika Fir’aun mengetahui hal itu, dia memerintahkan pasukannya untuk mengejar Musa dan pengikutnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: ‘Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.’ Musa menjawab: ‘Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.’ Lalu Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain (yaitu Fir’aun dan kaumnya). Dan Kami selamatkan Musa dan seluruh orang-orang yang besertanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu (Fir’aun dan bala tentaranya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar namun kebanyakan mereka tidaklah beriman.” (Asy-Syu’ara`: 60-67)
Di dalam sebagian kisah Nabi Musa dan Fir’aun tersebut, kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran. Di antaranya adalah:
  1. Bahwa orang-orang yang beriman akan diuji dengan musuh-musuhnya dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Hal itu untuk menampakkan siapa yang benar-benar kokoh imannya serta siapa yang lemah imannya atau bahkan menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya.
  2. Bahwa kebatilan meskipun didukung kekuatan sebesar apapun, tidak akan bisa mengalahkan kebenaran. Allah pasti akan menampakkan kebenaran dan akan menghancurkan kebatilan. Maka orang-orang yang mengetahui dirinya di atas kebenaran harus yakin bahwa Allah  akan menjaga serta memenangkannya. Barangsiapa sabar dan kokoh di atas agama Allah, niscaya akan mendapat pertolongan dan kemenangan dari Allah.
  3. Bahwa kemenangan akan datang bersama kesabaran dan bahwa bersama kesulitan akan datang jalan keluar
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah dan senantiasa mengambil pelajaran dari kemenangan-kemenangan yang diraih oleh wali-wali Allah . Di antaranya adalah kemenangan yang Allah karuniakan kepada Nabi-Nya yaitu Musa ‘alaihissalam.
Perlu diketahui, bahwa kisah diselamatkannya Musa bersama pengikutnya serta ditenggelamkannya Fir’aun dan bala tentaranya, terjadi pada hari yang kesepuluh dari bulan Muharram. Itulah hari yang kemudian dikenal dengan nama hari ‘Asyura. Hari tersebut merupakan hari yang diberi keutamaan dan dimuliakan sejak dahulu kala. Sehingga Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Hal ini sebagaimana hadits yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa shahabat ‘Abdullah ibn Abbas ra berkata
“Bahwasanya ketika masuk kota Madinah, Rasulullah Saw mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah Saw berkata kepada mereka: “Ada apa dengan hari ini sehingga kalian berpuasa padanya?” Mereka mengatakan: “Ini adalah hari yang agung, hari yang Allah selamatkan Musa dan kaumnya padanya serta Allah tenggelamkan Fir’aun dan pasukannya. Maka berpuasalah Musa sebagai bentuk rasa syukur dan kamipun ikut berpuasa padanya.” Maka Rasulullah Saw berkata: “Kalau demikian, kami lebih berhak dan lebih pantas terhadap Musa daripada kalian.” Maka berpuasalah Rasulullah saw pada hari tersebut serta memerintahkan para shahabatnya untuk melakukan puasa pada hari itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari hadits tersebut, kita dapatkan pelajaran bahwa para nabi adalah orang-orang yang menjadikan kemenangan sebagai sesuatu yang patut disyukuri, yaitu dengan menampakkan bahwa kemenangan datangnya adalah dari Allah Swt. Dan manusia adalah makhluk yang lemah serta membutuhkan pertolongan Allah sehingga mendorong dirinya untuk beribadah dengan ikhlas kepada-Nya. Maka Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut. Begitu pula nabi kita Muhammad Saw. Sehingga tidak semestinya hari kemenangan itu justru dijadikan sebagai hari yang dirayakan untuk menampakkan kebanggaan atas kemampuan dan kekuatan bangsanya. Sehingga dirayakan dengan pesta-pesta dan foya-foya. Atau dengan mengadakan acara-acara hiburan serta petunjukan-pertunjukan yang sarat kemaksiatan. Namun semestinya hari tersebut mengingatkan akan kenikmatan Allah Swt sehingga mendorong untuk menjalankan dan menegakkan syariat-Nya.
Amalan Apakah yang Disunnahkan di Bulan Muharram?
Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda:
 “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Dari Ibn Abbas ra, beliau mengatakan:
 “Saya tidak pernah melihat Nabi saw memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)


Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
Dari Abu Musa Al Asy’ari ra, beliau mengatakan:
Dulu hari Asyura’ dijadikan orang Yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi saw bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)
Dari Abu Qatadah Al Anshari ra beliau mengatakan:
Nabi saw ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Dari Ibn Abbas ra, beliau mengatakan:
Ketika Nabi saw sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)
Keterangan:
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:
Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi saw mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah ra mengatakan:
Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi saw tiba di Madinah, beliau melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
Dari Ibn Abbas ra, beliau menceritakan:
Ketika Nabi saw melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi saw bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi sudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)

Adakah anjuran puasa tanggal 11 Bulan Muharram?

Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis:
 “Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar).
Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dengan lafadz:
 “Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”
Dengan menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”) sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ (yang artinya “atau”).
Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas:
Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225)
Demikian keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed.
Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian.

Imam Ahmad mengatakan: Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).
Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam cakupan hadis yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:
  1. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
  2. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis.
  3. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
(Zadul Ma’ad, 2/72)

Bolehkah Puasa Tanggal 10 Saja?

Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi saw berencana untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz ra.
Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabi saw.
Dalam Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10.
Beliau menjawab:
Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi saw : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram….. Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)
Ibu-ibu, disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi saw ditanya tentang puasa ‘Asyura, beliau  menjawab:
 “Puasa tersebut menghapus dosa satu tahun yang telah lalu.” (HR. Muslim)      
Dari hadits-hadits tersebut, dapat kita pahami bahwa kaum muslimin disunnahkan untuk berpuasa pada hari yang ke-9 dan ke-10 pada bulan Muharram, hari yang dikenal dengan Tasu’a dan ‘Asyura. Bahkan sebagian ulama menyebutkan disyariatkannya pula untuk berpuasa pada hari setelahnya yaitu hari yang kesebelas, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashara. Wallahu a’lam bish-shawab.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk melakukan puasa pada hari tersebut, dan mudah-mudahan kita mendapatkan keutamaan yang telah Allah janjikan.
Fenomena Thiyaroh di Bulan Muharram
Muharram -tahun baru dalam kalender hijriyah- orang jawa menamakan bulan ini dengan istilah Suro. Mungkin nama ini diambil dari kata Asyuro yaitu tanggal 10 Muharram. Latar belakang diistimewakan hari Asyuro karena pada hari tersebut dianjurkan bagi kaum muslimin untuk melakukan puasa sunah.
Hal menarik yang layak untuk dibahas di sini adalah keyakinan sebagian orang Jawa yang menganggap bulan ini sebagai bulan sial. Setiap orang yang punya agenda acara, mau tidak mau harus ditunda bulan depan atau dibatalkan. Dhuwe gawe neng ulan syuro alamat cilokoBerani jangkar ….melanggar, …ku-wa-lat! demikian anggapan mereka. Anehnya, keyakinan yang tidak bisa diterima akal yang fitrah ini tidak hanya hinggap di masyarakat pedalaman, tetapi juga merasuk kepada sebagian kalangan yang berpendidikan dan mengenal teknologi, seperti kalangan akademisi (mahasiswa dan dosen) dan orang-orang terpelajar lainnya.
Andaikan tidak ada hubungannya dengan surga dan neraka, bisa dikatakan ini adalah satu adat yang biasa dan tidak perlu dibahas. Namun dalam kacamata agama Islam, keyakinan dan anggapan sial di atas termasuk salah satu bentuk perbuatan syirik. Satu dosa yang sangat besar, lebih besar dibandingkan dosa-dosa besar lainnya dan kesyirikan tidak akan diampuni oleh Allah jika dibawa mati oleh pelakunya dan ia belum bertaubat kepada Allah. Mengerikan bukan?! Lebih mengerikan lagi jika banyak orang yang melakukannya namun tidak memahami hukumnya. Bisa dibayangkan, pelakunya akan merasa dirinya tidak berbuat dosa padahal dia tengah melakukan perbuatan kekafiran. Pada hakikatnya dia sedang melakukan kesyirikan sementara dia tidak tahu kalau yang ia lakukan adalah kesyirikan. Bagaimana ia akan bertaubat kepada Allah apabila ia merasa tidak melakukan kesalahan. Akhirnya, dia mati membawa dosa syirik, satu dosa yang tidak diampuni oleh Allah. Wal ‘iyadzu billaah
Dalam ilmu aqidah, keyakinan sial seperti di atas dinamakan thiyaroh. Thiyaroh adalah anggapan akan mendapatkan kesialan karena mendengar atau melihat sesuatu yang tidak disukai, padahal tidak ada bukti ilmiyahnya. Misalnya anggapan bulan Suro bulan malapetaka.
Thiyaroh adalah aqidah orang kafir jahiliyah.Sebelum Islam datang, orang musyrikin Arab memiliki keyakinan yang semodel dengan keyakinan orang Jawa. Di antaranya masyarakat jahiliyah menganggap bulan Safar (bulan setelah Muharam dalam kalender Hijriyah) sebagai bulan sial. Mereka takut dan tidak mau mengadakan kegiatan apapun di bulan Safar. Mereka juga berkeyakinan sial dengan burung hantu, karena mereka menganggap burung hantu adalah lambang kematian. Jika hinggap di atas rumah kemudian mematuk rumah tersebut, pertanda sebentar lagi akan ada anggota keluarga rumah tersebut yang akan meninggal.
Ketika Islam datang Nabi saw menghapus keyakinan ini, beliau bersabda,
Tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya, tidak ada keyakinan sial karena sebab tertentu, tidak ada keyakinan tentang burung hantu, dan tidak ada kesialan bulan safar.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Namun uniknya, keyakinan ini dihidupkan lagi oleh sebagian kaum muslimin Indonesia. Hanya saja, bulannya berganti. Jika masyarakat jahiliyah meyakini bulan Safar sebagai bulan sial, maka orang Jawa meyakini bulan Suro (Muharram) sebagai bulan sial.

Hukum Thiyarah

Nabi saw bersabda
Thiyaroh adalah syirik, thiyaroh adalah syirik… (beliau ulangi tiga kali)” (HR. Abu Daud dan Turmudzi).
Dalam hadis ini, Nabi menegaskan status perbuatan thiyaroh dan beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Menunjukkan betapa pentingnya hal ini untuk diingatkan. Thiyaroh dikatakan bentuk kesyirikan dan mengurangi tauhid seseorang, karena dalam thiyaroh terdapat dua hal:
  1. Memutus tawakkal kepada Allah dan bertawakkal kepada selain Allah.
  2. Bergantung pada sesuatu yang tidak ada hakikatnya.
Ulama menjelaskan bahwa hukum thiyaroh sebagai perbuatan kesyirikan dirinci menjadi dua:


a. Syirik kecil
(tidak menyebabkan keluar dari Islam), jika kejadian aneh, bulan Suro, burung hantu atau yang lainnya hanya dianggap sebagai sebab kesialan. Meskipun dia meyakini bahwa pencipta kesialan itu sendiri adalah Allah. Perbuatan ini digolongkan kesyirikan karena pelakunya bersandar pada sesuatu yang dia yakini sebagai sebab munculnya kesialan, padahal itu bukan sebab.


b. Syirik besar
(pelakunya diancam dengan kekafiran), jika diyakini bahwa bulan Suro yang mengatur terjadinya kesialan, bukan Allah. Keyakinan ini sama dengan menganggap ada makhluk yang bisa mengatur alam dengan mendatangkan bencana atau sial.
(Qoulul Mufid Syarh Kitab Tauhid, 1:575).

Pengaruh Thiyarah

Setiap orang yang terjangkit penyakit thiyaroh akan terjebak dalam dua keadaan yang dua-duanya tercela:
Pertama, membatalkan agenda yang telah direncanakan karena takut akan tertimpa kesialan. Perbuatan ini sangat tercela karena persis sebagaimana yang dilakukan orang musyrik jahiliyah. Pelaku perbuatan ini telah terjerumus dalam kesyirikan yang statusnya sebagaimana rincian tentang syirik di atas. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Barangsiapa yang membatalkan agendanya karena thiyaroh maka dia telah berbuat syirik.”
Sahabat bertanya, “Lalu apakah tebusannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ucapkan:Allaahumma laa khaira illa khairuka wa laa thiyaro illa thiyaruka wa laa ilaaha ghoiruka
Yaa Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu, tiada kesialan kecuali sial karena taqdir-Mu, dan tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.” (HR. Imam Ahmad, no.7242, hadis hasan)
Kedua, tetap melakukan agenda kegiatan yang telah dijadwalkan, namun disertai dengan perasaan was-was dan khawatir, jangan-jangan nanti sial. Kualitas (nilai) keburukannya lebih rendah dari yang pertama, namun keadaan ini bukti rendahnya kualitas tawakkal dan tauhid pelakunya.

Terapi Untuk Mengobati Thiyarah

Penyakit aqidah yang sudah mendarah daging akan sangat sulit untuk bisa disembuhkan dan dihilangkan dalam sekejap. Sangat jarang ada orang yang bisa selamat dari penyakit thiyaroh ini. Bahkan para sahabat sendiri -manusia paling baik di umat ini- masih terjangkit penyakit ini. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalaatu was salaam,
 “Thiyaroh adalah syirik, thiyaroh adalah syirik..(3X). kemudian Ibn Mas’ud radhiallahu’anhu mengatakan, “Tidak ada seorangpun di antara kita kecuali (terjangkit dalam hatinya penyakit thiyaroh ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Maksud perkataan Ibn Mas’ud adalah munculnya perasaan was-was yang dialami para sahabat. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 10:288).
Namun kata “sulit” bukanlah alasan untuk tidak mengobati penyakit membahayakan ini. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk menterapi diri dari penyakit thiyaroh:
  1. Memperdalam ilmu tauhid dan aqidah. Karena dengan modal ilmu, seseorang bisa berjalan sesuai jalur yang syariat tentukan.
  2. Memahami dan meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mutlak berada di bawah kehendak dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun makhlukq yang bisa ikut campur.
  3. Bertawakkal dan pasrah sepenuhnya kepada Allah Swt. Sebagaimana yang dilakukan para sahabat.
  4. Sering-sering memohon perlindungan kepada Allah dari bisikan dan gangguan setan. Terutama ketika muncul perasan khawatir dan was-was. Kemudian lindungi diri kita dari godaan setan dengan membasahi mulut ini dengan dzikir-dzikir yang sesuai syari’at.
  5. Jangan menggagalkan satu rencana yang sudah diagendakan, disebabkan munculnya perasaan was-was. Karena hal ini berarti menjerumuskan kita kepada kesyirikan.
  6. Tetap optimis untuk meraih keberkahan dari kegiatan yang kita lakukan selama tidak melanggar syariat.
  7. Jangan pedulikan komentar orang yang justru akan memperparah penyakit thiyaroh. Bergaul-lah dengan orang-orang yang bisa membantu kita untuk memperbaiki tauhid dan mempertebal tawakkal.
  8. Lupakan segala bentuk kegagalan dunia dan pasrahkan hasil usaha kita kepada Sang Pengatur alam semesta.

Sebenarnya Mengapa Bulan Muharram Istimewa?

Bulan Muharram termasuk bulan yang istimewa. Banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah dan rasul-Nya memuliakan bulan Muharram, di antaranya adalah:
1. Termasuk Empat Bulan Haram (suci)
Allah berfirman,
 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..(QS. At-Taubah: 36)
Keterangan:
a. Yang dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab.
b. Disebut bulan haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliyah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan.
c. Az-Zuhri mengatakan,  “Dulu para sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, no.17301).
2.  Dari Abu Bakar ra, bahwa Nabi saw bersabda,
 “Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
3.  Dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)
Dari Abu Hurairah ra Nabi saw bersabda,
 “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Keterangan:
a. Imam An Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah.” (Syarah Shahih Muslim, 8:55)
b. As-Suyuthi mengatakan, Dinamakan syahrullah –sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini– karena nama bulan ini “Al-Muharram” nama nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama Shafar Awwal. Kemudian ketika Islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dengan Al-Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3:252)
c. Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham [arab: شهر الله الأصم ] (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, Hal. 34). karena itu, tidak boleh ada sedikitpun friksi dan konflik di bulan ini.
4.  Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama. Hari itu adalah hari Asyura’. Orang Yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas ra, beliau menceritakan,
5.  Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan
Hasan Al-Bashri mengatakan,
Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 34)
Allahu a’lam

Selasa, 06 Desember 2011

Bapak

Bapak...
Seandainya engkau adalah seorang yang kasar, keras, brutal, dan tidak bertanggungjawab, mungkinkah kepergianmu tidak menggores luka sedalam ini?
Mengapa sepanjang ingatan hanyalah tentang ketulusanmu, pengorbananmu, kesabaranmu, perlindunganmu...
Mengapa tak engkau beri aku sedikit tinta merah tentang dirimu
yang mungkin mempermudah untukku memperlambat deras rindu...
Dan telah kuterima ujian sejati tentang ilmu ridho, ilmu rela, ilmu ikhlas. Bahwa hidup ini hanyalah tentang bereaksi terbaik atas garis takdir yang telah kering ditulis sejak di Lauh Mahfudz.
Dan telah diambil-Nya kembali, seorang lelaki terbaik yang selama ini dipinjamkan-Nya sebagai bapakku.
Begitu satria kehidupanmu, begitu indah kepergianmu..
Begitu kentara Allah menunjukkan kecintaannya.
Dibimbing-Nya engkau demikian lembut.
Dilepaskan-Nya perlahan dari ikatan2 dunia yang selama ini menyita dedikasimu.
Ditumbuhkan dalam hatimu kecintaan kepada masjid-Nya, kerinduan kepada kampung akhirat
Adakah seorang manusia atau apapun makhluk Allah yang kuasa memberi bahkan setitik saja hidayah jika bukan Allah sendiri yang menghendakinya ?
Allah Yang Maha Rahman Rahim telah mengundangmu, pada tiap syahdu Subuh nan sunyi
Sehingga langkah sandal kayumu pun dihapal tetangga
Maka bumi akan bersaksi wahai bapakku, atas langkah-langkahmu di gulitanya.
Allah Yang Maha Lembut, telah memelukmu bapakku, mempertemukanmu dengan teman-teman baru yang sama-sama pemburu akhirat, pecinta alquran, dan penjaga dien-Nya.
Allah Maha Penyembuh telah menganugerahimu sakit, bapakku... Karena sungguh ia ingin membuat semua manusia yang kau kenal mendatangimu, hingga engkau bisa meminta keridhoan dan maaf mereka dari atas tempat tidurmu yang hangat, tanpa perlu bersusah payah mencari dan mendatangi...
Dan perih pedih sakit itu, bapakku...
Karena engkau berhak atas pahala sabar, pahala ridho, pahala ikhlas
Sungguh Allah Yang Maha Kuat jua yang mengurungmu dengan ketabahan, hingga tak ada apapun yang menghiasi badanmu kecuali ibadah
Tak ada apapun yang terucap lisanmu kecuali dzikrullah
Berlepas ruh mu dalam suci tak berhadats
Seusai tahajjud terakhir di malam yang basah
Kau tutup kitab mu dengan indah. Insya Allah
Maka adakah yang bisa kulakukan selain berbangga? Selain bersyukur?
Karena kini Allah telah menyeimbangkan hidupku
Berjalan jasadku di dunia, namun telah terkait jiwaku pada alam kubur, karena engkau bapakku tercinta telah menjadi penduduknya.
Maka lengkapkanlah kebahagiaan kami Ya Allah,
dengan mempertemukan kami kembali di jannah-Mu sebagai keluarga.
Amin

Ibumu, ibumu, ibumu

Bersyukurlah. Ketika Allah menjadikanmu seorang ibu di kala engkau sendiri masih memiliki ibu.
Ketika anakmu sakit engkau menjadi mengerti sesak perih ibumu bertanya2 apa yang salah dengan anakku.
Engkau jadi tahu bahwa ketika ia marah besar padamu karena pulang terlambat tanpa kabar, 5 menit sebelumnya ia bahkan tak bisa sekedar duduk karena sangat mengkhawatirkanmu.
Dari kesalahannya dan kekurangannya sebagai ibu yang kau catat rapih di buku harianmu, engkau bisa belajar untuk tidak mencatatkan kenangan yang sama di buku harian anakmu. Dan dari kesalahannya yang ternyata juga engkau ulangi pada anakmu, engkau belajar paham bahwa seorang ibu adalah wanita biasa yang tak lantas berubah menjadi sempurna 'hanya' karena sebuah perjuangan suci melahirkan seorang anak.
Saat engkau tiba di titik2 lelahmu sebagai ibu, maka engkau akan bertemu dengan titik2 rindu paling murni terhadap ibumu
Sebagai ibu engkau adalah mata air untuk anak-anakmu. Dan ibumu, adalah pepohonan rindang yang melestarikanmu.
Ibumu, ibumu, ibumu...