Ketika diperintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam as, setan menolak perintah ini. Akibatnya ia diusir dan diancam menjadi penghuni neraka. Setan bukannya gentar, namun ia bertambah dendam kepada makhluk baru bernama Adam ini. Lalu ia bersumpah, akan sebanyaknya-banyaknya membuat anak keturunan Adam menemaninya di neraka. Ikrar setan itu Allah abadikan di Alquran
“Saya pasti (menghalang-halangi)mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya pasti menghalangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”(QS.Al-A’raaf:16-17)
“Demi kemuliaanMu aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas diantara mereka.”(QS.Shad[38]:82-83)
Nah, Subhanallah! Ternyata selain bersumpah, entah sadar atau tidak setan sendiri telah membuka sendiri rahasia bagaimana menangkis godaan, tipuan, atau apapun yang akan dilancarkannya guna menggelincirkan kita dari jalan Allah ke neraka. Apa itu? Syukur dan Ikhlas. Hebatnya, Syukur dan ikhlas akan saling menyertai. Dua tabiat ini tak mungkin terpisahkan. Mustahil orang yang tidak bersyukur bisa bersifat ikhlas, dan hanya dengan ikhlas engkau bisa bersyukur. Hebatnya (lagi), setan tahu itu. Jadi setan sangat paham bahwa mayoritas manusia itu bukanlah makhluk yang pandai bersyukur, dan jalan paling afdhol dalam menjatuhkan manusia ialah lewat kurangnya sifat syukur ini.
Jadi apa arti syukur?
Jadi apa arti syukur?
Kalau anda membuka kamus besar bahasa Indonesia, lalu mencari kata syukur, maka artinya adalah (1) rasa terimakasih kepada Allah, dan (2) untunglah, maksudnya menyatakan rasa lega, senang, dan sebagainya. Contohnya: Ketika mendengar tetangga kita kemalingan, lalu kita berucap ‘Untuuuuung…jadi posisiku sebagai orang terkaya di kampung ini aman!
Nah, alangkah rancunya kalau syukur diartikan seperti ini, bukan? Memang arti secara etimologi tidak selamanya sama dengan penggunaannya. Di dalam Alquran kata ‘syukur’ dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 64 kali. Dalam kitab Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran kata ‘syukur’ berarti ‘gambaran dalam benak tentang kenikmatan dan menampakannya ke permukaan’. Akar kata syukur yaitu ‘syakara’ artinya menampakkan lawan dari ‘kafara’ menutupi.
Bagaimana cara bersyukur?
Syukur itu memiliki banyak dimensi. Saat keseluruhan dimensi itu terpenuhi, maka sempurnalah syukur kita. Yaitu syukur dengan hati, dengan lisan, dan dengan perbuatan.
1. Syukur dengan hati
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.An Nahl[16]:18)
Ciri orang-orang yang bersyukur dengan hati itu adalah menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh semata-mata dari Allah
“Karena itu ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.”(QS.Al Baqarah:152)
Ketika seseorang telah tertanam keyakinan kuat di hatinya bahwa Allah saja asal muasal segala nikmat yang ia peroleh maka ia akan terhindar dari sifat sombong ketika Allah memberinya rizqi yang berlebih dibanding saudaranya. Ia tidak akan takabbur ketika Allah menakdirkannya menjadi orang berilmu atau berpendidikan tinggi. Ia tidak akan ujub ketika Allah memberinya kemampuan untuk menunaikan ibadah-ibadah sunnah yang untuk sebagian besar orang sulit dijalankan.
Maka tanamkanlah itu, saudaraku! Hujamkan dalam-dalam ke dalam dada bahwa tubuh ini adalah semata karunia-Nya, harta ini semata belas kasihnya, suami dan anak-anak yang sehat dan membanggakan adalah miliknya yang diizinkan untuk kita nikmati, rumah kita yang indah, kendaraan kita, apapun adalah pemberiannya. Maka ahli syukur itu terlalu sibuk memuji Allah, waktunya habis untuk bersyukur kepada Allah, sehingga tidak tersisa lagi untuk sombong, takabbur, atau ujub.
2Syukur dengan lisan
Mengucapkan Alhamdulillah
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azabKu sangat pedih.”(QS.Ibrahim [14]:18)
TTermasuk juga ketika kita mendapat pujian dari seseorang atas kebaikan, kecantikan, atau mungkin kepintaran kita maka ucapkanlah Alhamdulillah yang artinya semua pujian itu kita kembalikan kepada Allah swt karena semua kebaikan itu bersumber dari Allah. Begitupun ketika ada yang dinilai kurang dari fisik/lahiriah kita, kurang putih, kurang mancung, kurang pandai, kurang kaya, maka itu bukanlah alasan untuk tidak bersyukur karena penilaian-penilaian semacam itu adalah tolok ukur yang diciptakan manusia, dan manusia yang dihiasi hawa nafsu ini tentu sangat beragam tolok ukurnya.
PPandangan manusia itu terbatas, sehingga kekurangan kita sebenarnya bukanlah ‘kurang’ dalam arti yang sebenarnya melainkan ada kebaikan yang luput terlihat ketika mata manusia yang lemah ini menilai. Bukankah Allah tidak pernah menyatakan bahwa kulit terbaik itu adalah kulit putih? Allah tidak pernah menetapkan bahwa tinggi ideal itu minimal 170? Semua itu adalah ukuran-ukuran kemanusiaan yang tidak pantas membatasi syukur kita. Maka ucaplah Alhamdulillah, saudaraku. Untuk kulit kita yang tidak seputih ras Jepang, hidung kita yang tidak semancung bangsa Eropa, atau harta yang tak sebanyak Aburizal Bakrie misalkan.
Menyebut-nyebut pemberian Allah
“Adapun nikmat Allah hendaklah kalian sebut-sebut dengan mengucapkan syukur…(QS.Ad Dhuha:11)
Mengingat-ingat dan menyebut dengan lisan selain menunjukkan rasa syukur juga bisa mengusir keresahan dan kesedihan. Seringkali memang untuk memotivasi diri kita perlu mengucapkan apa yang kita tekadkan di hati. Seperti perkataan buruk yang mempengaruhi hati, maka begitu pula perkataan-perkataan positif akan menguatkan dan membersihkan hati. Maka sebutlah nikmat Allah itu, saudaraku. Sebut dan ulangilah nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkannya pada kita, terutama di kala musibah, sedih, dan resah melanda agar hati ini ingat bahwa musibah kita terlalu kecil dibanding banyaknya nikmat Allah. Semoga dengan selalu mengingat dan menyebut nikmat Allah tidak ada celah sedikitpun untuk setan masuk dan membelokkan kita dari pintu tidak bersyukur
Menyampaikan kebenaran
Tidak semua orang seberuntung kita dilahirkan sebagai orang Islam, bayangkanlah orang-orang yang terlahir di dalam keluarga yang tidak dalam naungan akidah Islam, mereka harus berjuang untuk sampai pada kebenaran. Ketika telah menemukan kebenaran Islam, tantangan justru semakin berat karena mereka akan berhadapan dengan keluarganya sendiri, dengan komunitasnya. Bahkan ada seorang mualaf yang sampai diusir keluarganya, dicerai suaminya, karena ingin berada dalam naungan Islam. Nikmat Islam adalah nikmat terbesar, dan kita semua di sini mendapatkan itu gratis begitu kita lahir.
Begitupun, tidak semua orang Islam seberuntung kita digerakkan oleh Allah senang kepada ilmu, tidak semua wanita seberuntung kita bisa memiliki komunitas baik semacam majelis taklim. Di luar sana, ribuan wanita Islam masih juga belum sampai pada kesadaran yang membuat mereka paham bahwa agama kita bukan hanya sekedar sholat 5 waktu dan puasa Ramadhan.
Maka sebagai orang yang telah dianugerahi secercah pemahaman oleh Allah, bentuk syukurnya adalah dengan meneruskan kepahaman kita menjadi ‘memahamkan’ orang lain. Maka berbagilah, saudaraku. Bagilah ilmu dan indahnya iman ini kepada saudara-saudara kita, keluarga kita, pembantu kita, teman-teman kita.
Mengucapkan Alhamdulillah
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azabKu sangat pedih.”(QS.Ibrahim [14]:18)
TTermasuk juga ketika kita mendapat pujian dari seseorang atas kebaikan, kecantikan, atau mungkin kepintaran kita maka ucapkanlah Alhamdulillah yang artinya semua pujian itu kita kembalikan kepada Allah swt karena semua kebaikan itu bersumber dari Allah. Begitupun ketika ada yang dinilai kurang dari fisik/lahiriah kita, kurang putih, kurang mancung, kurang pandai, kurang kaya, maka itu bukanlah alasan untuk tidak bersyukur karena penilaian-penilaian semacam itu adalah tolok ukur yang diciptakan manusia, dan manusia yang dihiasi hawa nafsu ini tentu sangat beragam tolok ukurnya.
PPandangan manusia itu terbatas, sehingga kekurangan kita sebenarnya bukanlah ‘kurang’ dalam arti yang sebenarnya melainkan ada kebaikan yang luput terlihat ketika mata manusia yang lemah ini menilai. Bukankah Allah tidak pernah menyatakan bahwa kulit terbaik itu adalah kulit putih? Allah tidak pernah menetapkan bahwa tinggi ideal itu minimal 170? Semua itu adalah ukuran-ukuran kemanusiaan yang tidak pantas membatasi syukur kita. Maka ucaplah Alhamdulillah, saudaraku. Untuk kulit kita yang tidak seputih ras Jepang, hidung kita yang tidak semancung bangsa Eropa, atau harta yang tak sebanyak Aburizal Bakrie misalkan.
Menyebut-nyebut pemberian Allah
“Adapun nikmat Allah hendaklah kalian sebut-sebut dengan mengucapkan syukur…(QS.Ad Dhuha:11)
Mengingat-ingat dan menyebut dengan lisan selain menunjukkan rasa syukur juga bisa mengusir keresahan dan kesedihan. Seringkali memang untuk memotivasi diri kita perlu mengucapkan apa yang kita tekadkan di hati. Seperti perkataan buruk yang mempengaruhi hati, maka begitu pula perkataan-perkataan positif akan menguatkan dan membersihkan hati. Maka sebutlah nikmat Allah itu, saudaraku. Sebut dan ulangilah nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkannya pada kita, terutama di kala musibah, sedih, dan resah melanda agar hati ini ingat bahwa musibah kita terlalu kecil dibanding banyaknya nikmat Allah. Semoga dengan selalu mengingat dan menyebut nikmat Allah tidak ada celah sedikitpun untuk setan masuk dan membelokkan kita dari pintu tidak bersyukur
Menyampaikan kebenaran
Tidak semua orang seberuntung kita dilahirkan sebagai orang Islam, bayangkanlah orang-orang yang terlahir di dalam keluarga yang tidak dalam naungan akidah Islam, mereka harus berjuang untuk sampai pada kebenaran. Ketika telah menemukan kebenaran Islam, tantangan justru semakin berat karena mereka akan berhadapan dengan keluarganya sendiri, dengan komunitasnya. Bahkan ada seorang mualaf yang sampai diusir keluarganya, dicerai suaminya, karena ingin berada dalam naungan Islam. Nikmat Islam adalah nikmat terbesar, dan kita semua di sini mendapatkan itu gratis begitu kita lahir.
Begitupun, tidak semua orang Islam seberuntung kita digerakkan oleh Allah senang kepada ilmu, tidak semua wanita seberuntung kita bisa memiliki komunitas baik semacam majelis taklim. Di luar sana, ribuan wanita Islam masih juga belum sampai pada kesadaran yang membuat mereka paham bahwa agama kita bukan hanya sekedar sholat 5 waktu dan puasa Ramadhan.
Maka sebagai orang yang telah dianugerahi secercah pemahaman oleh Allah, bentuk syukurnya adalah dengan meneruskan kepahaman kita menjadi ‘memahamkan’ orang lain. Maka berbagilah, saudaraku. Bagilah ilmu dan indahnya iman ini kepada saudara-saudara kita, keluarga kita, pembantu kita, teman-teman kita.
Syukur dengan perbuatan
Setelah seseorang bersyukur dengan lisan dan hatinya, maka biasanya anggota badannya/fisiknya akan menerjemahkan rasa syukur itu dalam bentuk amal. Rasa syukurnya akan menjadi bahan bakar yang terus memacu amal-amalnya. Bentuk syukur dengan perbuatan misalkan:
Ibadah
“Aisyah berkata,’Engkau masih berbuat seperti ini padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa silammu dan dosa-dosamu pada masa mendatang.’ Rasulullah SAW bersabda,’Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?’”(HR.Bukhari Muslim)
Maka adakah contoh syukur yang lebih dahsyat dari ini? Seorang yang telah dijamin terampuni dosa masa lalu dan akan datang, seorang yang telah distempel ‘makshum’ masih bengkak kedua kakinya karena berdiri sholat Tahajjud yang sangat lama? Maka semestinya kita yang bergelimang dosa ini malu hati dan memacu diri untuk lebih serius menata ibadah kita. Tubuh sehat tidak akan selamanya milik kita, suatu saat ia akan renta menua, mata yang mulai lamur, jantung yang mulai melemah, sekaranglah kesempatan kita untuk memperbanyak ibadah.
Syukurilah harta dengan zakat, infaq, dan sedekah. Syukurilah nikmat penglihatan dengan membaca ayat-ayat Allah, buku-buku bergizi, dan memandang yang baik-baik. Syukurilah tangan ini dengan membelai kepala anak yatim, memeluk saudara kita yang tertimpa musibah
Sujud syukur
“Dari Abu Bakar bahwa Rasulullah saw apabila menerima suatu hal yang menyenangkan atau diberi kabar gembira, segera beliau menunduk sujud sebagai tanda syukur kepada Allah Ta’ala.”(HR.Abu Dawud dan Tirmidzi)
Mengenai tatacara sujud syukur as Syaukani berpendapat,”Tidak ada sebuah haditspun yang menjelaskan bahwa untuk melakukannya disyaratkan untuk suci dari hadats. Juga tidak ada keterangan dari Rasulullah saw bahwa sujud syukur harus menghadap kiblat dan bertakbir.”
Dalam kitab al Bahr disebutkan bahwa sebelum sujud syukur diperlukan takbir. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa sujud syukur harus diawali takbir dan diakhiri salam. Sebagian yang lain berpendapat tidak usah.
Ibadah
“Aisyah berkata,’Engkau masih berbuat seperti ini padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa silammu dan dosa-dosamu pada masa mendatang.’ Rasulullah SAW bersabda,’Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?’”(HR.Bukhari Muslim)
Maka adakah contoh syukur yang lebih dahsyat dari ini? Seorang yang telah dijamin terampuni dosa masa lalu dan akan datang, seorang yang telah distempel ‘makshum’ masih bengkak kedua kakinya karena berdiri sholat Tahajjud yang sangat lama? Maka semestinya kita yang bergelimang dosa ini malu hati dan memacu diri untuk lebih serius menata ibadah kita. Tubuh sehat tidak akan selamanya milik kita, suatu saat ia akan renta menua, mata yang mulai lamur, jantung yang mulai melemah, sekaranglah kesempatan kita untuk memperbanyak ibadah.
Syukurilah harta dengan zakat, infaq, dan sedekah. Syukurilah nikmat penglihatan dengan membaca ayat-ayat Allah, buku-buku bergizi, dan memandang yang baik-baik. Syukurilah tangan ini dengan membelai kepala anak yatim, memeluk saudara kita yang tertimpa musibah
Sujud syukur
“Dari Abu Bakar bahwa Rasulullah saw apabila menerima suatu hal yang menyenangkan atau diberi kabar gembira, segera beliau menunduk sujud sebagai tanda syukur kepada Allah Ta’ala.”(HR.Abu Dawud dan Tirmidzi)
Mengenai tatacara sujud syukur as Syaukani berpendapat,”Tidak ada sebuah haditspun yang menjelaskan bahwa untuk melakukannya disyaratkan untuk suci dari hadats. Juga tidak ada keterangan dari Rasulullah saw bahwa sujud syukur harus menghadap kiblat dan bertakbir.”
Dalam kitab al Bahr disebutkan bahwa sebelum sujud syukur diperlukan takbir. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa sujud syukur harus diawali takbir dan diakhiri salam. Sebagian yang lain berpendapat tidak usah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar