menuju-Mu

Rabbana, diriku hanyalah setitik debu di hadapan keagunganMu.
Maka jagalah hati ini,
dari terlihat besar di mata manusia
namun kecil di mataMu
dari terasa baik di mata manusia
namun hina di mataMu
dari merasa benar di mata manusia
namun salah di mataMu
Jadikanlah aku lebih baik dari persangkaan diri dan orang lain

Rabu, 04 April 2012

Lemah Lembut dan Tidak Tergesa-gesa



Dua Kisah tentang Ketergesaan
Sebuah kisah indah pernah dituturkan oleh Hasan al Bashri. Ada seorang lelaki yang meninggal dunia, dia meninggalkan seorang anak lelaki dan seorang budak wanita. Dalam wasiatnya, sang bapak menyerahkan budak wanita itu kepada anak lelakinya.Si budak wanita sangat giat merawat anak lelaki itu. Akhirnya anak lelaki itupun menyukai budak wanita dan menikahinya.
Suatu saat anak lelaki minta izin pada budak wanita yang kini telah menjadi istrinya.
“Siapkan perbekalan karena aku akan pergi lama mencari ilmu.” Kata suami
Disiapkanlah perbekalannya. Sebelum berangkat, suami mendatangi seorang ‘alim dan meminta nasihat sebagai bekal kepergiannya. Orang alim itu berkata “Bertakwalah kepada Allah, sabarlah, dan jangan engkau terburu-buru.”
Sang suami tidak pernah melupakan nasihat itu dalam perjalanannya mencari ilmu. Sampai suatu saat ia pulang ke rumah. Saat memasuki rumahnya, ia mendapati istrinya sedang tidur sementara di sebelah istrinya itu ada seorang lelaki yang juga tidur.
“Saya tak sabar untuk membunuhnya.” Lalu dia kembali ke kendaraannya mengambil pedang. Saat itulah ia teringat dengan nasihat orang alim. Maka ia tidak jadi mengambil pedangnya. Ia kembali masuk ke rumah. Saat berada di dekat kepala lelaki yang tidur di sebelah istrinya ia kembali berkata “Aku ingin membunuhnya.”Ia pun kembali keluar menuju kendaraannya untuk mengambil pedang tetapi kemudian teringat kembali pada nasihat orang alim. Maka urung lagi niatnya mengambil pedang dan kembali masuk rumah.Begitu berturut-turut sampai 3 kali.
 Saat itu lelaki yang tidur di samping istrinya telah bangun dan bertanya kepadanya apa yang terjadi. Suami menjawab “Aku mendapatkan kebaikan yang sangat banyak setelah meninggalkanmu. Ketahuilah, aku telah berjalan di antara pedang dan kepalamu sebanyak 3 kali. Namun ilmu telah menghalangiku dari membunuhmu.”
Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad dengan sanad hasan. Dalam syarahnya dijelaskan bahwa ternyata sang istri masih memiliki hubungan mahrom dengan lelaki yang tidur di sampingnya.

Ukhti fillah,                                                                                                                                                                  
Suatu hari, saat  Rasulullah SAW shalat, beliau mendengar suara gaduh di belakang. Seusai shalat Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, apa gerangan yang telah terjadi, sehingga terdengar suara gaduh pada saat shalat? Para sahabat menjawab: “Kami tergesa-gesa mendatangi shalat”. Rasulullah SAW kemudian bersabda: ” Jika kalian mendatangi shalat hendaklah kalian (berjalan dengan) tenang. Ikutilah raka’at yang dapat kalian ikuti dan sempurnakanlah raka’at yang tertinggal.” (HR Bukhari Muslim).
Apakah Tergesa-gesa itu?

Tergesa-gesa adalah kondisi psikologis seseorang yang secara emosional ingin cepat-cepat melakukan sesuatu, kosong dari pertimbangan fikiran. Karena tanpa pertimbangan terlebih dahulu, maka aktivitas yang dilakukannya juga tidak produktif.

Menurut bahasa, kata isti’jal, i’jal, dan ta’ajul memiliki satu arti, yaitu : menuntut sesuatu dikerjakan atau diselesaikan dengan cepat atau segera.
Isti’jal Adalah Bakat Kita
Sesungguhnya manusia memang diciptakan bersifat tergesa-gesa atau isti’jal. Seorang ibu seringkali ingin anak balitanya cepat bisa berjalan, ketika telah bisa berjalan maka sang ibu seolah tidak sabar menunggu anaknya bisa membaca maka kemudian ia menuntut, kasar, mengancam, bahkan marah-marah. Seorang daiyah selalu ingin  obyek dakwahnya menunjukkan perubahan signifikan secepat mungkin. Maka kemudian dia terjebak kepada sikap-sikap yang keras dan cenderung mematahkan, entah mematahkan hati obyek dakwahnya, bahkan mematahkan proses dakwah itu sendiri. Seorang lajang tentu ingin cepat menggenapkan separuh din nya. Menikah. Maka kemudian ia tergesa-gesa. Memang Rasulullah menekankan urgensi  menikahkan yang masih lajang di antara kita. Tetapi bersegera tentu sangat berbeda dengan tergesa-gesa. Bersegera didahului oleh persiapan yang matang, berangkat dari pemikiran dan pertimbangan yang jelas, kalkulasi yang matang, baru kemudian mengeksekusi. Tetapi ketergesaan biasanya hanya bermodalkan semangat dan dorongan jiwa semata.
Sebab-Sebab Isti’jal
1. Dorongan jiwa.
Sebagaimana yang telah diutarakan, bahwa isti’jal adalah bagian dari watak dasar  manusia, maka sampai kapanpun tak mungkin bisa kita ingkari apalagi berusaha kita lenyapkan dari kemanusiaan kita karena Allah memang sudah melekatkan sifat ini kepada kita seperti dalam firmanNya
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa” (QS. 21:37)
Maka semangat ketergesaan ini harusnya diolah dan diarahkan sehingga nantinya meledak di saat yang tepat. Untuk menanggulangi dorongan jiwa yang satu ini tentu tidak ada jalan lain selain mengokohkan ruhiyah kita. Kokohnya ruhani akan membuat jiwa kita senantiasa tenteram dan sejuk. Seandainya air, maka orang yang ruhaninya kokoh adalah samudera. Ia luas dan dalam, ketika dilempar sebuah batu ke dalamnya ia tak akan beriak sedikitpun bahkan mungkin berbunyi pun tidak. Tetapi orang yang ruhaninya ringkih maka ia adalah air di mangkok kaca, menciprat kemana-mana bahkan hanya dengan sebutir kerikil. Insya Allah,  dengan ruhani yang kokoh bakat ketergesaan kita menjadi lebih proporsional
2. Pengaruh perkembangan zaman
Zaman dimana kita hidup kini adalah zaman dimana segala sesuatu bergerak dengan cepat. Seseorang yang pagi harinya berada di Jakarta beberapa saat kemudian sudah bisa berada di Cairo, berita yang terjadi di belahan dunia bisa kita saksikan pada saat yang bersamaan. Gejala seperti inilah yang menjalar dan terserap oleh diri kita pelan tapi pasti, bahkan mungkin tanpa kita sadari. Sejak anak-anak (golden age) kita sudah sering diyakinkan atau teryakinkan bahwa yang cepat itu dihargai lebih baik. Kita sering dengan begitu eksplisit menunjukkan kekaguman kita di depan anak kita ketika mendengar anak teman kita sudah bisa membaca lalu seolah tidak cukup kita sempurnakan luka hati anak kita dengan memohon memelas “Bagi resepnya dong ukh, anakku lho nyambung 3 huruf aja masih bingung, gimana ya?”
Seorang ibu yang tergesa akan panik melihat anak-anak sebaya sudah bisa membaca sementara anaknya belum, tapi seorang ibu yang bersegera akan mengintrospeksi dirinya, terus mencari metode pembelajaran yang paling tepat untuk anaknya, dan memperbaikinya. Seorang lajang yang belum jua dipertemukan dengan soulmate nya sementara teman-teman sebaya telah hamil. Sementara pertanyaan, godaan, sindiran, bahkan tuntutan lingkungannya terasa makin massif, akan panik dan mulai mengasihani diri sendiri, bertanya pada cecak di dinding kamar, merenung2 adakah yang salah dengan diriku, bahkan mungkin berburuk sangka kepada orang2 yang ia harapkan ‘seharusnya’ membantunya, atau lebih buruk lagi ia jadi berprasangka buruk kepada Allah. Tetapi seorang lajang yang bersegera menjemput jodoh ia akan semakin giat memperbaiki dirinya baik fisiknya, ibadahnya, akhlaqnya, terlebih imannya.
3. Goal oriented
Pencapaian tentu adalah hal penting, tetapi semata-mata berorientasi pada pencapaian adalah salah satu pupuk subur bagi naluri ketergesaan di dalam diri kita. Kita terlalu sangat peka pada kesuksesan seseorang tapi tidak peka pada proses berdarah-darah di balik kesuksesan itu. Kita lebih sering menghabiskan waktu untuk mengobrolkan tentang anak ukhti Fulanah yang sudah hafal 10 juz daripada mengobrolkan apa-apa saja yang telah dilakukan oleh sang ummi demi tercapainya 10juz itu.
Israel mencapai kedudukan mereka sekarang tidak dengan serta merta, mereka sangat terorganisir, merencanakan dengan matang bahkan mengkader putra-putri mereka jauh sejak masih di dalam kandungan. Atau marilah kita lihat bagusnya system kerja setan. Sepanjang hari mereka tidak pernah berhenti sedetikpun dari azzamnya untuk menyesatkan kita. Bahkan materi-materi (rasmul bayan?)nya mereka entah bagaimana caranya bisa mengendap sangat dalam di alam bawah sadar kita, ini terbukti ketika mereka libur rehat di bulan Ramadhan, ajaran mereka masih lestari di sebagian kepala ummat Islam sehingga tidak sulit menemukan muslim yang tanpa malu-malu menenggak es kopyor di siang hari Ramadhan tepat di persimpangan yang ramai.
Dalam dakwah,  fenomena ketergesaan ini membuat kaum muslim menanggapi kesuksesan musuh-musuh Islam sebagai kejadian yang terjadi begitu saja, tanpa mau memahami bahwa untuk semua itu mereka melalui jalan yang panjang dan berliku-liku dengan strategi dan tahap-tahap tertentu dan disertai pengorbanan yang tidak sedikit. Dari sinilah banyak yang ‘nggak sabaran’ ingin mewujudkan keinginan mereka secepatnya sebagai mana orang-orang kafir telah mewujudkan keinginan mereka.
Banyak da’i yang keliru menjadikan natijah/goal/hasil sebagai ghayah dari setiap usahanya dalam dakwah , sehingga tatkala natijah tak kunjung datang, hatinya menjadi tak tenteram dan akhirnya mengarah pada sikap isti’jal. Padahal ghayah seorang muslim adalah mardhotillah dan itu akan terwujud manakala seorang da’i selalu i’tizam dalam manhaj-Nya serta tsabat hingga akhir hayat, terlepas apakah dia berhasil atau tidak, karena yang Allah tuntut adalah usaha seseorang bukan natijahnya.
 Usia da’wah itu sepanjang hidup manusia. Da’wah yang dibangun hari ini adalah fondasi bagi da’wah di esok hari. Maka, sangat berbahaya bila kita membangun da’wah ini dengan sangat tergesa-gesa. Saat fondasinya belum kokoh, kita sudah terburu-buru membangun dindingnya, lalu genting dan atapnya, hanya karena ingin segera menikmati hasilnya. Bisa dipastikan, bangungan da’wah seperti itu akan mudah roboh ditiup angin cobaan.
“Maka siapa yang berharap berjumpa dengan Rabbnya, hendaklah beramal shalih dan tidak menyekutukannya dalam beribadah kepada Rabb-nya.”(QS.18:110)
4. Tak kuat menanggung cobaan
Di zaman Rasul sahabat Khabbab bin Arit pernah mengadu dan mohon agar dia berdoa kepada Allah SWT agar cepat-cepat menurunkan bantuannya setelah beratnya derita dan siksaan yang dilakukan oleh orang-orang kafir kepadanya dan sahabat-sahabatnya. Tetapi untuk pengaduannya itu Rasul masih menganggapnya ‘tergesa-gesa’ sambil membandingkannya dengan umat terdahulu yang tabah dan tsabat (eksis) di atas jalan Allah meskipun ada yang harus menggali kuburan untuk dirinya sendiri, di gergaji kepalanya dan tubuhnya dibelah dua atau ada juga yang disisir dengan sisir besi hingga terkelupas dagingnya sampai ke tulang-tulangnya.
5. Berteman dengan seorang yang memiliki sifat isti’jal.
Manusia adalah anak dari lingkungannya. Pengaruh seorang teman sangat besar sekali dalam membentuk pribadi seseorang, apalagi jika teman tersebut memiliki pribadi yang kuat. Kemungkinan isti’jal akibat pengaruh teman adalah bukan hal yang mustahil. Bukankah Rasulullah saw menegaskan dalam sabdanya, “Seseorang itu tergantung (kualitas) agama teman akrabnya. Maka, hendaknya engkau memperhatikan siapa teman akrabnya” (HR Abu Dawud).
Jalan Untuk Mengobati Isti’jal

  1. Memperhatikan bekas-bekas dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh isti’jal
Tidak ada salahnya kita mengenang-ngenang kembali saat-saat dimana kita pernah melakukan sesuatu dengan ketergesaan. Kita akan ingat betapa ternyata hasilnya lebih sering jauh dari harapan. Ketergesaan itu ternyata lebih sering membawa kita pada penyesalan.
  1. Selalu memperhatikan kitab Allah Azza wa Jalla.
Sesungguhnya Allah telah mencontohkan di dalam penciptaan jagat raya ini. Allah swt menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Menciptakan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan secara bertahap. Tidak ada yang tergesa-gesa. Padahal la swt Maha Mampu untuk menciptakan semua itu sekaligus dan dalam waktu sekejap, dengan sebuah kata “Kun (Jadilah)” seperti dalam firman-Nya, ” Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” maka terjadilah ia” (QS Yaasiin [36]: 82).
  1. Rajin menelaah sunnah dan sirah Nabawiyyah.
Karena dengan begitu kita akan mengetahui bagaimana ujian dan penderitaan yang dihadapi Rasulullah saw. Bagaimana beliau bersabar dan tabah serta tidak beristi’jal. Penderitaan kita yang manakah yang sekiranya lebih berat dari penderitaan Rasulullah. Beliau yatim piatu, bahkan wajah Ayahanda pun tidak tahu. Beliau lebih sering lapar daripada kenyang seumur hidupnya. Orang-orang yang didakwahi beliau tidak hanya mengacuhkan, bahkan menentang dan menyiksa beliau lahir batin. Beliau diludahi, dilempari kotoran, berkali-kali mencoba dibunuh tapi saat Jibril menawarkan untuk membinasakan saja orang-orang yang menentangnya apa jawaban beliau? “Tidak, wahai Jibril. Sesungguhnya aku berharap dari mereka akan lahir keturunan yang menyembah Allah swt” Subhanallah, bahkan ketidaktergesaan beliau melampaui sebuah generasi. Selama 23 tahun mengarungi samudra da’wah, beliau tidak pernah "memaksa" Allah untuk menolong jerih payahnya. Peristiwa pahit saat ia menyebarkan da’wah di Thoif merupakan salah satu buktinya. Kisah tersebut juga menegaskan bahwa da’wah Rasulullah SAW dilakukan sekali kunjung dan sekali jadi, lalu berhasil dengan mulus. Maka bagaimana dengan kita? Yang cuma silaturrahim sebulan sebulan sekali kepada kerabat lalu mengharap mereka terwarnai oleh nilai-nilai Islam secepat mungkin.
  1. Berinteraksi dengan orang-orang berpengetahuan dan berpengalaman.
Pengetahuan itu menumbuhkan, sementara pengalaman mengokohkan. Ibarat pohon, bertambahnya pengetahuan akan membuat engkau makin menjulang rimbun berbunga, dan pengalaman akan membuat akarmu makin kokoh menancap ke dalam bumi. Maka orang-orang yang berpengetahuan sekaligus berpengalaman adalah narasumber terbaik tempat kita bisa belajar dan menimba ilmu. Maka jangan sia-siakan ketika Allah mempertemukan kita dengan orang-orang semacam ini.
  1. Berjuang untuk mengendalikan nafsu dan melatihnya bersikap cermat, hati-hati, tidak terburu-buru, dan selalu mempertimbangkan sesuatu
Terakhir tentu saja dengan berlatih. Alah bisa karena biasa. Kebiasaan itu dibangun, tidak diciptakan. Mungkin awalnya dipaksakan, lama-kelamaan akan menjadi sifat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar