Butuh sekian lama untuk yakin, bahwa wanita yang sedang
rebah di tempat tidur itu adalah wanita yang kukenal selama ini. Salah seorang
kerabat dengan tumor (kanker?) di perut. Sungguh, seandainya tidak kutemui ia di sana, di
rumah yang memang kukenal sebagai rumahnya, dengan suami dan anak-anak di
sekelilingnya yang memang kukenal sebagai suami dan anak-anaknya mungkin aku
percaya bahwa wanita itu adalah orang lain.
Luar biasa penyakit merubah manusia. Tiba-tiba ia lemah
seutuhnya. Berjalan, duduk, tertawa, yang sebelumnya kita anggap biasa lalu
menjadi barang mahal yang sungguh sangat-sangat berharga. Orang-orang di
sekeliling yang kerap menjengkelkan dan membuat marah menjadi sangat dibutuhkan
karena membawa badan pun tak mampu sendiri.
Ah, betapa sombongnya manusia ternyata, padahal sungguh ia
tak berdaya apa-apa. Betapa nikmat berlelah-lelah bekerja mengurus rumah yang
seolah tak pernah berujung itu, sangat nikmat ketika hanya bisa terbaring
sambil menahan sakit yang tak terperi.
Mimpi-mimpi dan rencana hidup yang indah itu, yang kerap
menggundahkan saat tak kunjung menampakkan gelagat akan terwujud, menjadi
sangat murah rasanya. Betapa terkadang kita telah mengebiri rasa syukur kita
dengan meletakkan mimpi jauh melampaui jatah usia kita. Betapa kita telah
memangkas kebahagiaan yang seharusnya bisa kita rasakan dengan membuat rumus
bahagia yang terlalu sulit dicerna. Ah, nafsu…tak kan pernah ia kenyang
walaupun kita menyuapinya dengan emas dua lembah penuh.
Jangan sampai sakit itu datang, lalu kita baru tersadar
bahwa sebenarnya titik kebahagiaan itu sudah jauh kita abaikan dan ditinggal di
belakang sana..entah dimana. Alangkah mudahnya jiwa ini menjadi tumpul, tak sensitif
lagi terhadap percik-percik karunia yang berceceran di sekeliling kita. Jadi
saat seringkali gundah gelisah itu seolah membelit tak sudah-sudah, mungkin
kita telah tertipu dengan persepsi kebahagaiaan kita sendiri. Menjenguk yang
sakit, semoga bisa mengasah dan mencucinya kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar