Sebagai makhluk sosial, manusia tentunya dituntut untuk bisa berinteraksi dengan manusia yang lain. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan butuh orang lain dalam memenuhi hajat-hajat hidupnya. Untuk bisa melahirkan seorang manusia saja, seorang ibu butuh seorang suami. Saat lahir pun akan membutuhkan bantuan dari bidan atau dokter. Dan seterusnya sampai kita dewasa pasti akan membutuhkan peran orang lain dalam hidup kita.
Maka, seorang manusia sejatinya harus bisa berinteraksi dengan manusia yang lain dengan baik. Membangun keakraban, membangun suasana kekeluargaan, menjalin persahabatan. Rasulullah pun memerintahkan kita untuk menjadi orang yang suka bergaul di masyarakat dengan baik : “Mukmin yang bergaul ditengah-tengah masyarakat dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada mukmin yang tidak bergaul dan tidak bersabar dengan gangguan orang” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath
)
Dalam bergaul, kadang diperlukan bumbu-bumbu agar muamalah tidak membosankan, tidak kaku dan supaya mudah tercipta keakraban. Bumbu-bumbu tersebut kadang berupa candaan. Bisa berupa plesetan, humor, tingkah yang lucu, sindiran dan segala macam bentuk canda yang bisa mencairkan suasana. Tentu saja hal ini adalah perkara mubah, boleh-boleh saja.
Bahkan Rasulullah pun suka bercanda. Anas ra. Meriwayatkan bahwa pernah ada seorang laki-laki meminta kepada Rasulullah agar membawanya di atas kendaraan. Kemudian Rasulullah berkata: “Aku akan membawamu di atas anak unta”. Orang tadi bingung karena ia hanya melihat seekor unta dewasa, bukan anak unta. Kemudian Rasulullah berkata: “Bukankan yang melahirkan anak unta itu anak unta juga?” (HR.Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad yang shahih)
Perlukah canda dibahas sedemikian rupa? Ya, saudaraku. Karena walaupun ia terdengar sepele ia juga bisa menjadi berbahaya apalagi bila setan telah menyusup ke dalamnya. Karena biasanya ketika bercanda satu sama lain berlomba untuk mendatangkan kata-kata yang paling lucu bagi orang lain. Bahkan kadang dalam canda itu terselip kata-kata yang tidak patut, menyakitkan, mencela, dan lain sebagainya yang sebenarnya kita tahu tidak patut dilontarkan tetapi ada stempel berbahaya yang ketika dicapkan pada kata-kata seburuk apapun menjadi seolah tidak apa-apa. Stempel yang bagaimana itu? Yaitu stempel kata-kata “Ah, cuma bercanda…”.
Maka dari itulah sebagai insan yang mencintai ilmu dan merindukan kebenaran, kita perlu mengkaji sebenarnya bagaimana pandangan, aturan, dan tuntunan agama kita dalam bercanda ini.
Yang perlu kita ketahui sebelum menyantap makanan tentu adalah status kehalalannya. Demikian setiap aktivitas yang kita lakukan mesti kita kenali dulu hukumnya. Bercanda itu hukumnya asalnya adalah mubah (boleh)
“Dan sesungguhnya Dia-lah yang membuat orang tertawa dan menangis.”(QS.an Najm:43)
Menurut Ibnu Hajar al Asqalany Allah telah menciptakan dalam diri manusia tertawa dan menangis maka silahkan kita tertawa dan menangis namun harus kita kuasai aturan atau adab-adabnya.
Seseorang pernah datang kepada Sufyan bin Uyainah ra dan berkata “Canda itu adalah suatu keaiban” maksudnya ia adalah sesuatu yang harus dijauhi. Sufyan bin Uyainah menjawab
“ Tidak demikian, justru canda itu sunnah hukumnya bagi orang yang membaguskan candanya dan menempatkan canda sesuai situasi dan kondisi.”
Jadi bercanda itu unik, karena ia adalah aktivitas yang bisa bermanfaat tapi juga bisa mendatangkan mudharat tergantung bagaimana kita mempraktekkannya.
Manfaat canda:
1. Menyenangkan sesama dan menunjukkan kasih sayang
“Fathimah ra pernah berkata,’Rasulullah saw pernah menyenangkan hatiku dengan berita gembira atau yang lainnya, lalu aku tertawa.’”(HR.Bukhari)
Sa’id bin Al Ash pernah berkata kepada putranya “Kurang bercanda akan membuat orang yang ramah berpaling darimu, sahabat-sahabatmu pun menjauhimu.”
Abul Hatim pun juga memperkuat perkataan ini dengan kata-kata “Merupakan kewajiban orang berakal untuk membuat hati manusia cenderung (senang) kepadanya dengan cara bercanda bersama mereka dan tidak bermuka masam (cemberut).”
Tapi ingat, yang dimaksud Sa’id bin Al Ash dan Abu Hatim ini adalah candaan yang sedang-sedang saja dan tidak melampaui batas. Mengenai ukuran canda yang tidak melampaui batas ini ada sebuah perkataan menarik dan cerdas dari Abu Al Fath Al Basaty lewat syairnya :
Jika engkau beri dia canda, hendaklah dengan kadar seperti engkau memberi garam pada makanan
Kadar garam pada makanan itu kan benar-benar sangat intuitif. Tak pakai tentu tak enak rasanya, kebanyakan tentu mengkeret yang makan hidangannya.
2. Menghilangkan marah, takut, dan kesedihan
Mudharat Canda
1. Dekat pada dusta, ghibah, dan melampaui batas
“Berpegangteguhlah kalian dengan kebenaran (shidq), karena sesungguhnya shidq itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan (menghantarkan) kepada surga. Seseorang senantiasa benar (tidak dusta) dan (terus) menuntut kebenaran sampai dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat benar. Sesungguhnya dusta itu mengantar orang kepada kejahatan, dan kejahatan itu mengantar orang kepada neraka. Seseorang senantiasa dusta dan (terus) melakukan dusta sampai ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat pendusta.”
Seperti yang sudah saya singgung di atas bahwa dalam kondisi bercanda sungguh lebih sulit menjaga lisan daripada dalam kondisi serius. Ketika bercanda, kita seolah-olah merasa sah-sah saja berdusta.
Contohnya: Bu Rusin datang terlambat ke majelis ta’lim sore itu. Ibu-ibu sudah hampir semua berkumpul. Salah seorang ibu bertanya dengan maksud bercanda
“Masih mandiin Pak Rusin ya bu?”
Tertawalah ibu-ibu di forum itu, merasa terhibur dan senang dengan candaan tersebut. Melihat itu, bu Rusin ikut tergoda untuk menambah meriah suasana
“Iya nih, sekalian nyuapin, hehe…”
Semua tahu itu dusta, semua paham tidak mungkin Bu Rusin masih memandikan dan menyuapi suaminya yang masih sehat wal afiat tak kurang suatu apa. Tapi karena dilakukan dalam konteks bercanda maka semua ibu-ibu tidak sadar bahawa dusta tetaplah dusta.
2. Mematikan hati
“Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati (kalbu).”(Shahihul Jami’ 7312)
Hati yang mati itu sulit untuk khusyu’. Hati yang mati sulit untuk mengembang karena harap kepada rahmat Allah dan mengkerut karena takut pada azab Allah. Jadi hatinya itu seolah kebal dan bebal. Dan kata Rasulullah salah satu sebab hati menjadi kebal sedemikian rupa adalah terlalu banyak tertawa.
3. Melunturkan wibawa
Umar bin Khattab pernah berkata “Barangsiapa banyak tertawa maka akan berkurang wibawanya. Barangsiapa banyak bercanda ia akan diremehkan, dan barangsiapa banyak melakukan sesuatu maka ia kan dikenal karenanya.”
Kita harus bijaksana menerjemahkan kata ‘wibawa’ ini. Dalam Islam kita mengenal kata ‘izzah’, izzah itu adalah cara kita menghargai diri sendiri. Cara kita memandang dan memperlakukan diri kita sendiri akan mempengaruhi cara orang lain dalam memandang dan memperlakukan kita. Maka tidak ada salahnya saat kita merasa diperlakukan tidak seperti yang kita harapkan kita perlu bercermin diri mungkinkah hal-hal yang tidak kita inginkan itu terjadi salah satunya karena sikap kita sendiri.
4. Menimbulkan sifat dengki
Banyak sekali pertengkaran, hati yang terluka, ketersinggungan, berawal dari canda. Canda yang dilontarkan sebagai canda namun karena tidak memenuhi adab maka ia diterima sebgai sebuah jarum tajam yang melukai si pendengar. Maka tak berlebihan kiranya kalau disebut bahwa canda itu dapat menimbulkan kedengkian dan permusuhan.
Kata Khalifah Umar bin Abdul Azis “ Takutlah kalian pada canda, sebab canda dapat mewariskan rasa dengki.”
Nah, kalau demikian apa sajakah sebenarnya adab-adab canda itu?
1. Tidak mengandung dzikir kepada Allah dan ayat-ayatNya, hadits-hadits Rasulullah dan syair-syair Islam lainnya
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya, dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. at Taubah: 65-66)
Menurut At Thabari dalam perang Tabuk ( 9 H) ada sebagian kaum mengejek para qurra’ (pembaca/penghafal Quran) dengan perkataan “Kami tidakpernah melihat orang seperti qurra’ kami itu yang lebih mementingkan urusan perut (duniawi). Lisan-lisan mereka selalu dusta dan mereka paling takut kalau bertemu musuh.”
Cacian mereka ini didengar oleh Rasulullah saw dan kemudian tak lama turunlah ayat tersebut di atas.
Ibnu Utsaimin berkata “ Segi-segi yang berkaitan dengan tauhid Rububiyah, risalah, wahyu, dan dien ini adalah segi-segi yang harus dihormati. Tak seorangpun boleh bermain-main dalam wilayah ini, baik dengan mengolok-olok, mentertawakan, maupun ejekan-ejekan atau guyonan.”
Bahkan beliau mencap orang-orang semacam ini telah kafir karena telah menghina Allah. Maka kepada yang telah terlanjur pernah melakukannya ia wajib bertaubat sambilterus menyesali dan memperbaiki amalnya.
Saya pribadi cukup sering mendengar, membaca, atau melihat komunitas orang, tulisan, ataupun sekedar obrolan yang isinya candaan tentang syariat, ibadah, bahkan Nabi dan zat Allah sendiri. Yang paling lumrah mungkin anekdot-anekdot atau pelesetan tentang seorang ulama, kyai, atau tokoh-tokoh agama lainnya. Bahkan mempelesetkan lafadz doa,lafadz adzan, atau salam.
Hal ini harus juga harus kita tanamkan kepada anak-anak kita secara tegas bahwa bercanda dalam wilayah ini sama sekali tidak lucu bahkan ia membahayakan aqidah kita. Naudzubillahi min dzalik.
2. Tidak mengandung unsur menyakiti kepada seseorang
“Janganlah sekali-kali salah seorang kamu mengambil barang saudara (teman)nya secara main-main maupun secara serius. Barangsiapa yang mengambil tongkat saudaranya, maka ia wajib mengendalikannya.”
Cukup sering kita mendengar kekurangan (kalau boleh disebut kekurangan) fisik seseorang menjadi topik canda yang sangat ampuh untuk mengundang tawa dan karenanya menjadi topik favorit ketika bercanda. Misalnya dengan ringannya seseorang nyeletuk pada temannya yang berkulit lebih gelap dari kebanyakan orang “Hei, awas lho jangan keluar malam-malam nanti gak keliatan.” Selain mengandung unsur penghinaan(walaupun yang bersangkutan tidak merasa terhina) ini juga mengandung perendahan terhadap karya cipta Allah. Maka berhati-hatilah ketika bercanda.
Dalam suatu perjalanan malam bersama Rasulullah saw salah seorang diantara mereka ketiduran, sebagian bergerak mendekati sahabat yang ketiduran dengan maksud mengambil tali milik lelaki itu untuk bercanda. Lelaki itu terkejut dan terbangun. Melihat itu Rasulullah saw pun berkata “Tidak halal bagi seorang muslim mengagetkan atau menakut-nakuti saudara semuslim lainnya.”
3. Tidak mengandung dusta, ghibah, fitnah, atau cabul
“Celakalah orang yang berbohong untuk membuat manusia tertawa. Sungguh celaka dia, celaka dia, celaka dia.” (HR. Imam Ahmad)
Di dalam musyawarah untuk membahas rencana rekreasi, terjadi kebingungan masalah kendaraan. Lalu nyeletuklah seorang ibu dengan ringannya
“Naik mobil saya aja yuk…”
Maka menolehlah para ibu-ibu yang lain penuh harap dan sedikit heran karena selama ini yang mereka tahu si ibu yang nyeletuk tadi memang belum memiliki mobil. Setelah dilihatnya ibu-ibu terpancing maka ia kembali mnukas ringan
“Tapi mobilnya masih di pabrik..hehehe”
Bohong atau dusta adalah dosa besar. Berdusta itu tetap berdusta baikdalam urusan serius ataupun main-main. Tidak ada bohong putih atau bohong hitam. Semua bohong adalah dosa. Demikian pula dengan ghibah. Dalam kondisi apapun ghibah itu tetap ghibah.
4. Tidak melampaui batas yang logis (ma’qul)
Di dalam kitab-kitab hadits sangat sedikit ditemukan tentang perilaku canda Rasulullah. Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan beliau, lebih banyak keseriusan dan jarang bercanda. Tentu tidak berarti bahwa beliau sering bermuka masam atau dingin. Bukankah salah seorang sahabat pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah melihat orang yang paling banyak tersenyum selain Rasulullah saw. Bahkan al Miqdad pernah tertawa di sisi Rasulullah saw sampai ia terjungkal ke tanah.
Bercanda tidak dengan semua orang. Sebagaimana kita tahu bahwa karakter manusia itu bermacam-macam, ada yang hatinya sangat kuat bahkan kata-kata makian sekasar apapun tidak sanggup menyentuh hatinya tapi sebaliknya ada orang yang memiliki hati yang sangat sensitif. Dan untuk mengenal seseorang itu tentu butuh waktu. Jadi alangkah bijaknya kalau kita tidak langsung mengajak bercanda orang yang baru kita kenal.
Yang kedua, dengan lawan jenis yang bukan mahram. Bercanda berlebihan dengan non-muhrim akan menimbulkan fitnah. Maka sebaiknya dibatasi kadar dan intensitasnya kalaupun tidak bisa dihindari sama sekali.
Yang ketiga kepada orang yang lebih tua, tentunya sikap yang utama adalah santun dan berlemah lembut. Adapun bila ingin bercanda perlu disesuaikan jenis candaannya agar tidak mengurangi rasa hormat kita.
Tidak bergaya menyerupai wanita (atau laki-laki)
Seringkali untuk membuat orang tertawa, seorang laki-laki bergaya seperti wanita. Baik pakaian, cara berjalan, atau cara bicaranya. Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan melaknat perempuan yang menyerupai laki-laki”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ad-Darimi, hadist shahih).
Sungguh aneh, saat zaman dahulu di negeri kita ini banci atau bencong menjadi hal yang tabu, namun di masa ini malah menjadi hal yang biasa saja dan malah jadi bahan candaan. Malah gaya banci ini sempat jadi trend di kalangan dunia hiburan Indonesia. Padahal hal tersebut mendapat laknat Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah akhlak seorang muslim yang hanif. Tidaklah melakukan sesuatu melainkan itu sebuah kebaikan, baik dalam bekerja, melihat, mendengar juga dalam berbicara. Sesuai dengan sabda Rasulullah: “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Cuma ada 2 pilihan, berkata yang baik, kalau tidak bisa maka diamlah.
Para ulama yang shalih menganjurkan agar tidak memperbanyak canda dan tidak berlebihan dengannya. Baik dalam bermuamalah, dalam menuntut ilmu apalagi dalam berdakwah. Karena seseunggunnya hal tersebut dapat menjatuhkan wibawa, menjauhkan diri dari hikmah, menimbulkan kedengkian, mengeraskan hati dan membuat banyak tertawa yang melalaikan diri dari mengingat Allah.
Wallahu 'alam
iya ustadzah.... :)
BalasHapus