menuju-Mu

Rabbana, diriku hanyalah setitik debu di hadapan keagunganMu.
Maka jagalah hati ini,
dari terlihat besar di mata manusia
namun kecil di mataMu
dari terasa baik di mata manusia
namun hina di mataMu
dari merasa benar di mata manusia
namun salah di mataMu
Jadikanlah aku lebih baik dari persangkaan diri dan orang lain

Sabtu, 24 November 2012

Bahagia Itu Sederhana


Butuh sekian lama untuk yakin, bahwa wanita yang sedang rebah di tempat tidur itu adalah wanita yang kukenal selama ini. Salah seorang kerabat dengan tumor (kanker?) di perut. Sungguh, seandainya tidak kutemui ia di sana, di rumah yang memang kukenal sebagai rumahnya, dengan suami dan anak-anak di sekelilingnya yang memang kukenal sebagai suami dan anak-anaknya mungkin aku percaya bahwa wanita itu adalah orang lain.

Luar biasa penyakit merubah manusia. Tiba-tiba ia lemah seutuhnya. Berjalan, duduk, tertawa, yang sebelumnya kita anggap biasa lalu menjadi barang mahal yang sungguh sangat-sangat berharga. Orang-orang di sekeliling yang kerap menjengkelkan dan membuat marah menjadi sangat dibutuhkan karena membawa badan pun tak mampu sendiri. 

Ah, betapa sombongnya manusia ternyata, padahal sungguh ia tak berdaya apa-apa. Betapa nikmat berlelah-lelah bekerja mengurus rumah yang seolah tak pernah berujung itu, sangat nikmat ketika hanya bisa terbaring sambil menahan sakit yang tak terperi.

Mimpi-mimpi dan rencana hidup yang indah itu, yang kerap menggundahkan saat tak kunjung menampakkan gelagat akan terwujud, menjadi sangat murah rasanya. Betapa terkadang kita telah mengebiri rasa syukur kita dengan meletakkan mimpi jauh melampaui jatah usia kita. Betapa kita telah memangkas kebahagiaan yang seharusnya bisa kita rasakan dengan membuat rumus bahagia yang terlalu sulit dicerna. Ah, nafsu…tak kan pernah ia kenyang walaupun kita menyuapinya dengan emas dua lembah penuh.

Jangan sampai sakit itu datang, lalu kita baru tersadar bahwa sebenarnya titik kebahagiaan itu sudah jauh kita abaikan dan ditinggal di belakang sana..entah dimana. Alangkah mudahnya jiwa ini menjadi tumpul, tak sensitif lagi terhadap percik-percik karunia yang berceceran di sekeliling kita. Jadi saat seringkali gundah gelisah itu seolah membelit tak sudah-sudah, mungkin kita telah tertipu dengan persepsi kebahagaiaan kita sendiri. Menjenguk yang sakit, semoga bisa mengasah dan mencucinya kembali.

Sabtu, 03 November 2012

Hati yang Perawan


Tidak semua orang beruntung memasuki gerbang pernikahan dengan kondisi hati yang perawan. Ada banyak pelabuhan tempat hati kita tertambat sebelum menemukan pulau impian dimana kita sudah ingin bersandar selamanya. Cinta monyet, cinta pertama, cinta tak sampai, cinta yang dikhianati, cinta palsu, menjadi kisah-kisah yang membuat hati kita carut marut dan tak jelas warnanya karena sering berganti rasa. Ibarat kertas selembar,ia telah beberapa kali kusut oleh gosokan penghapus dan polesan tip- ex.

Saat ‘The best one at the right time’ itu hadir, dunia laksana taman bunga di tepi telaga. Wangi, sejuk, berwarna. Oh my God, terasa konyollah semua pengembaraan itu(helloow…betapa bodohnya gue dulu bisa jatuh cinta pada si dia, pada  si doi, pada si bebi, pada si pipi). Cinta segar tertumpah total untuk sang mempelai yang hadir memahkotai kita dengan pernikahan. Pangeran berkuda putih dengan mahar di tangan. Dan kita merasa seolah tak pernah jatuh cinta sebelumnya. Dialah belahanku. Yang sebelumnya tentu belahan orang lain yang sempat salah alamat mampir padaku

Tapi pernikahan tentulah bukan hanya masalah cinta dan hati. Berdua kita harus bersama naik dan turun, tertawa dan menangis. Fluktuasi itu kadang mendaki dan menurun curam. Seperti gunung dan lembah yang menjadi keniscayaannya. Dan hati yang tak utuh ibarat terjepit oleh masa lalu dan masa depan. Di titik-titik tinggi rendah itu nyatalah bahwa ia punya bakat spesial yang terwarisi dari masa lalunya: Membandingkan.

Dan ingatkah kau sifat perbandingan? Dalam matematika, jawabannya cuma 3 : < , =, >. Ah, dan masalah terbesar adalah engkau bukan sedang membandingkan angka. Takaran apa yang paling jujur ketika yang ditimbang adalah hal seabstrak cinta, seimajiner kasih sayang, semisterius perhatian, bahkan sekonyol romantisme? Sadarilah, dalam perjalanan pernikahan tak ada yang lebih berbahaya dari perbandingan-perbandingan. Karena satu hal hampir bisa dipastikan: Setiap kali kau memenangkan yang satu, maka engkau akan makin terjauhkan dengan yang satunya lagi. Dan sayangnya, yang sudah di genggaman itu memang tak semenarik ketika masih sebagai harapan. Sehingga sering terkalahkan.

Tapi sungguh ini cuma tentang ketidakadilan. Kau cuma  berpaling ke belakang saat di depanmu tak menyenangkan. Saat menangis sekarang, yang terbayang adalah dulu aku pernah tertawa begitu bahagia. Saat sepi sekarang, yang teringat adalah dulu aku pernah begitu berkubang perhatian dan kasih sayang. Tapi pernahkah kau mau membandingkan saat bahagia sekarang bahwa luka yang begitu dalam pernah tertoreh (baca:ditorehkan) masa lalumu? Maukah kau menghitung kembali airmatamu yang pernah tertumpah saat sekarang kau sedang tertawa?

Alangkah nikmat hati suci yang terjaga dan hanya terbuka saat yang halal sudah datang. Semuanya menjadi pertama dan menakjubkan. Benarlah kiranya bahwa wanita selalu dinilai dari masa lalunya sedangkan lelaki dinilai dari masa depannya. Kalimat bersayap yang oleh sebagian peburuksangka diartikan sebagai lelaki itu egois dan menuntut kemurnian dan keserbapertamaan sedangkan wanita selamanya adalah pemburu materi dan pencapaian. Bagi yang mau mengakui,-atau membuktikan?- maka mereka akan faham, bahwa jauh dibalik kalimat itu ada kebenaran yang begitu terang bahwa memang sungguh berbahaya wanita yang bermain-main dengan keperawanan hatinya. Setiap kau nodai keperawanan hatimu  berarti engkau makin meletakkan visi kebahagiaanmu di tempat yang semakin utopis, klise, filmis, dan yang paling buruk: tragis. 

Ah, betapa Sang Pencipta Hati kita sangat mengerti ini, itulah mengapa jauh sebelum pergaulan telah mencapai lompatan yang sangat besar hingga sekarang keperawanan dalam sisi apapun tidak lebih mahal dari harga sebuah ponsel Cina, Allah Sang Maha Kasih telah menekankan harga mati menjaga keperawanan hati kita.

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS.Al Isra’:32)

Katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)Nampak dari padanya…”(QS.An Nur:31)

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”(QS.Al Ahzab:33)

Maka berhati-hatilah dengan hatimu wahai wanita….segumpal darah itu engkau sendirilah yang menentukan, akan menjadikanmu siapa.

Rabu, 17 Oktober 2012

Tersangka Baik


Dengan kerudung lebar, baju longgar, dan kaos kaki seringkali banyak orang dan orang kebanyakan di sekitar kita menjadi over-estimate. Apalagi saat tanpa sengaja mereka mengintip ada alquran kecil dalam tas kita. Plus, HP yang menyalak nyaring menggemakan lagu tanpa musik yang syairnya ada kata ‘cinta Allah’, ‘syahid’, ‘surga’….atau bahkan murrotal.
Maka jangan salahkan mereka kalau kita diterjemahkannya sebagai ‘orang-orang yang lambungnya jauh dari tempat tidur’. Tak pernah semalampun terlewat tanpa membasahi sajadah dengan airmata munajat. Wajar jika mereka mencurigai kita adalah istri-istri sholihah yang selalu memandang suami dengan mata qona’ah, tak pernah membantah, apalagi marah-marah.
Belum lagi ketika ternyata kita mendapat amanah membagi ilmu, menjadi pengisi majelis taklim ibu-ibu lugu yang dengan mentah dan jujurnya langsung menempatkan kita sebagai contoh hidup dari materi yang kita sampaikan. Sabar. Pintar. Rapi. Ramah.
Di cap baik itu tentu menyenangkan, tetapi di –cap jauh lebih baik dari kenyataannya seringkali justru menggelisahkan. Duhai, alangkah malu nanti di Padang Mahsyar saat semua diputar ulang. Mereka akan tahu bahwa alquran kecil yang selalu ada di tas itu lebih demi mengejar setoran hafalan yang lewat deadline. Bagaimanakah rasanya nanti saat diketahui betapa ternyata malam-malam kita tak lebih baik dari mereka. Atau profil cerdas nan terjaga itu hanya saat tampil sepekan sekali di hadapan mereka sementara 6 hari lainnya kita hanyalah wanita-wanita yang juga terjebak di depan acara gosip televisi. Naudzubillah…
Mungkin itulah yang membuat seorang teman begitu panik saat mendapat pujian. Seperti siang itu saat seorang temanku sedang sibuk membantah ‘citra baik’ yang dilekatkan seorang ibu -mad’u- nya kepadanya.
“Kapan ya saya bisa seperti mbak? Sholihah, cantik. Aduh, pasti suaminya senang sekali punya istri seperti mbak ini. Saya tuh mbak kalau sudah ngeliat mbak jadi semangat ingin pintar, ingin rajin ibadah, ingin tutup aurat dengan sempurna. Tapi sampai di rumah kembali lagi deh ngomel-ngomel, ngerumpi. Gimana sih mbak biar bisa kayak mbak ini?” kata si ibu  sambil tangannya sibuk mengusap-usap, menepuk-nepuk, dan bahkan sedikit mengguncang-guncang tangan temanku yang terlipat kikuk.
Tidak sekali dua aku melihat hal semacam itu, bahkan juga mengalaminya sendiri. Menghadapi  prasangka orang yang terlampau baik terhadap diriku. Rata-rata reaksi teman-teman seragam. Mereka cepat-cepat memotong lalu mengupas diri dengan menyebut semua kebiasaan-kebiasaan buruknya.
“ Ah, nggak jugalah bu. Ibu tahu tadi malam saja saya tidak qiyamul lail bahkan Subuh kesiangan. Bahkan  saya masih punya hutang puasa saat menyusui anak saya yang pertama, padahal sekarang sudah hamil anak ketiga nih.”
“Saya tidak sebaik itu bu. Kalau marah juga kadang saya suka lepas kontrol. Malah saya ini sebenarnya termasuk orang yang gampang marah lho bu”
“Waduh, saya juga masih suka kok bu nonton gossip…hehehhe…”
Saya yakin semua jawaban atau bantahan itu berasal  dari kepanikan. Kita takut dengan citra baik yang dilekatkan orang pada kita. Tapi meruntuhkannya dengan membuka aib sendiri saya rasa juga kurang ahsan.
Tak ada seorang manusiapun di dunia ini yang tak pernah berbuat kesalahan. Karena khilaf, karena tidak paham ilmu, karena nafsu, karena lingkungan. Yang terpenting adalah karena memang sebenarnya Allah telah menakdirkan kita sebagai rumah bagi iman yang fluktuatif.
Maka mencari sosok ideal yang seluruh perjalanan hidupnya putih bersih adalah menjadi sebuah kemustahilan. Begitupun kita. Ketika saat ini banyak orang melabeli kita dengan judul yang kadang terasa terlalu jauh dari diri kita yang sebenarnya maka tidak lantas harus disikapi  dengan begitu reaktif. Membongkar semua keburukan dan aib-aib diri degan lugas dan deskriptif.
Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya. (HR. Muslim)
Saat Allah swt membaikkan dirimu di mata orang-orang di sekelilingmu, itu artinya Dia telah memakaikan busana kasih sayang-Nya padamu. Kita selayaknya pemilik hak cipta amal yang terus mendapat royalti dari pengkonsumsi produk kita. Sungguh tidak semua manusia mendapat anugerah seindah itu.
Rasa panik, rasa malu, rasa segan, saat kita tahu kita dihargai terlalu mahal dibanding kualitas kita yang sebenarnya bukanlah alasan untuk kita mengoyak perlindungan yang telah Allah lekatkan. Justru adanya rasa itu adalah tuntunan Allah untuk menggiring kita kepada tekad untuk sungguh-sungguh memantaskan diri terhadap persepsi dunia luar.
Alangkah risau hati ini membaca sabda Rasulullah saw
Pada hari kiamat nanti akan didatangkan seorang lelaki kemudian dilemparkan ke neraka hingga ususnya terburai keluar dan berputar-putar dineraka seperti keledai mengitari alat penumbuk gandumnya, kemudian penduduk neraka bertanya: Hai fulan! Apa yang menimpamu, bukankah dulu kau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?  Ia menjawab: Benar, dulu saya memerintahkan kebaikan tapi saya tidak melakukannya dan saya melarang kemungkaran tapi saya melakukannya.(HR.Muslim)
Bersyukurlah saat engkau masih risau, artinya hatimu hidup. Namun sekali lagi, bukan alasan yang bijak untuk menghindar dari ancaman siksa itu dengan jalan berhenti menjadi (disangka) baik. Tapi risau itu seharusnya menjadi bahan bakar yang meledak memacu motivasi kita untuk menjadi sejati dalam kebaikan. Baik sungguhan. Baik original. Bukan baik KW.
Engkau hanya harus benar-benar risau saat hatimu tak lagi risau. Pujian dan persepsi baik itu makin melenakan dan membuat kita nikmat dan aman. Saat itulah semoga ada teman yang mengingatkan bahwa punggung kita telah benar-benar patah oleh pujian. Naudzubillah.

Jumat, 12 Oktober 2012

Patah Hati


Terhempaslah hatiku malam ini
Pedih, hancur, tak tersisa
Tersayat…
Begitu tajam
Sangat dalam

Angin terik berpasir seperti ingin turut menyiksa
Menambah gores luka
Sungguh, sakitnya tak terkata

Aku kehilangan jiwa
Mencari udara
Bernafaspun terasa hampa

Aku tercabik begitu rupa
Saat cinta kau cabut paksa

Aku serpihan kulit kayu
Yang luruh meranggas walau tak mau

Aku daun gugur
Jatuh melayang lalu terpijak
Remuk redam
Hancur

Tanpa cintamu, aku bisa apa
Bahkan sejuk air telaga dini hari pun terasa membakar raga

Bagaimana harus hidup
Bila ruh ku telah mati

Tanpa pesonamu di depan sana
Kemana aku akan berdiri dan menuju?

Sekali lagi
Kau pergi
Seringan anai-anai yang melayang

Aduhai mengapa
Dengan luka sebesar dunia
Aku masih saja cinta
Aku masih selalu cinta