Dengan
kerudung lebar, baju longgar, dan kaos kaki seringkali banyak orang dan orang
kebanyakan di sekitar kita menjadi over-estimate. Apalagi saat tanpa sengaja
mereka mengintip ada alquran kecil dalam tas kita. Plus, HP yang menyalak nyaring
menggemakan lagu tanpa musik yang syairnya ada kata ‘cinta Allah’, ‘syahid’,
‘surga’….atau bahkan murrotal.
Maka
jangan salahkan mereka kalau kita diterjemahkannya sebagai ‘orang-orang yang
lambungnya jauh dari tempat tidur’. Tak pernah semalampun terlewat tanpa
membasahi sajadah dengan airmata munajat. Wajar jika mereka mencurigai kita
adalah istri-istri sholihah yang selalu memandang suami dengan mata qona’ah,
tak pernah membantah, apalagi marah-marah.
Belum
lagi ketika ternyata kita mendapat amanah membagi ilmu, menjadi pengisi majelis
taklim ibu-ibu lugu yang dengan mentah dan jujurnya langsung menempatkan
kita sebagai contoh hidup dari materi yang kita sampaikan. Sabar. Pintar. Rapi.
Ramah.
Di
cap baik itu tentu menyenangkan, tetapi di –cap jauh lebih baik dari
kenyataannya seringkali justru menggelisahkan. Duhai, alangkah malu nanti di
Padang Mahsyar saat semua diputar ulang. Mereka akan tahu bahwa alquran kecil
yang selalu ada di tas itu lebih demi mengejar setoran hafalan yang lewat deadline.
Bagaimanakah rasanya nanti saat diketahui betapa ternyata malam-malam kita tak
lebih baik dari mereka. Atau profil cerdas nan terjaga itu hanya saat tampil
sepekan sekali di hadapan mereka sementara 6 hari lainnya kita hanyalah
wanita-wanita yang juga terjebak di depan acara gosip televisi. Naudzubillah…
Mungkin
itulah yang membuat seorang teman begitu panik saat mendapat pujian. Seperti
siang itu saat seorang temanku sedang sibuk membantah ‘citra baik’ yang
dilekatkan seorang ibu -mad’u- nya kepadanya.
“Kapan
ya saya bisa seperti mbak? Sholihah, cantik. Aduh, pasti suaminya senang sekali
punya istri seperti mbak ini. Saya tuh mbak kalau sudah ngeliat mbak jadi
semangat ingin pintar, ingin rajin ibadah, ingin tutup aurat dengan sempurna.
Tapi sampai di rumah kembali lagi deh ngomel-ngomel, ngerumpi. Gimana sih mbak
biar bisa kayak mbak ini?” kata si ibu sambil tangannya sibuk
mengusap-usap, menepuk-nepuk, dan bahkan sedikit mengguncang-guncang tangan
temanku yang terlipat kikuk.
Tidak
sekali dua aku melihat hal semacam itu, bahkan juga mengalaminya sendiri.
Menghadapi prasangka orang yang
terlampau baik terhadap diriku. Rata-rata reaksi teman-teman seragam. Mereka
cepat-cepat memotong lalu mengupas diri dengan menyebut semua
kebiasaan-kebiasaan buruknya.
“
Ah, nggak jugalah bu. Ibu tahu tadi malam saja saya tidak qiyamul lail bahkan
Subuh kesiangan. Bahkan saya masih punya
hutang puasa saat menyusui anak saya yang pertama, padahal sekarang sudah hamil
anak ketiga nih.”
“Saya
tidak sebaik itu bu. Kalau marah juga kadang saya suka lepas kontrol. Malah
saya ini sebenarnya termasuk orang yang gampang marah lho bu”
“Waduh,
saya juga masih suka kok bu nonton gossip…hehehhe…”
Saya
yakin semua jawaban atau bantahan itu berasal
dari kepanikan. Kita takut dengan citra baik yang dilekatkan orang pada
kita. Tapi meruntuhkannya dengan membuka aib sendiri saya rasa juga kurang
ahsan.
Tak
ada seorang manusiapun di dunia ini yang tak pernah berbuat kesalahan. Karena
khilaf, karena tidak paham ilmu, karena nafsu, karena lingkungan. Yang
terpenting adalah karena memang sebenarnya Allah telah menakdirkan kita sebagai
rumah bagi iman yang fluktuatif.
Maka
mencari sosok ideal yang seluruh perjalanan hidupnya putih bersih adalah
menjadi sebuah kemustahilan. Begitupun kita. Ketika saat ini banyak orang
melabeli kita dengan judul yang kadang terasa terlalu jauh dari diri kita yang
sebenarnya maka tidak lantas harus disikapi
dengan begitu reaktif. Membongkar semua keburukan dan aib-aib diri degan
lugas dan deskriptif.
Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya
kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam
kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di
malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya):
Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi
dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi
dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari
dirinya. (HR. Muslim)
Saat Allah swt
membaikkan dirimu di mata orang-orang di sekelilingmu, itu artinya Dia telah
memakaikan busana kasih sayang-Nya padamu. Kita selayaknya pemilik hak cipta
amal yang terus mendapat royalti dari pengkonsumsi produk kita. Sungguh tidak
semua manusia mendapat anugerah seindah itu.
Rasa panik, rasa
malu, rasa segan, saat kita tahu kita dihargai terlalu mahal dibanding kualitas
kita yang sebenarnya bukanlah alasan untuk kita mengoyak perlindungan yang
telah Allah lekatkan. Justru adanya rasa itu adalah tuntunan Allah untuk
menggiring kita kepada tekad untuk sungguh-sungguh memantaskan diri terhadap
persepsi dunia luar.
Alangkah risau
hati ini membaca sabda Rasulullah saw
Pada hari
kiamat nanti akan didatangkan seorang lelaki kemudian dilemparkan ke neraka
hingga ususnya terburai keluar dan berputar-putar dineraka seperti keledai
mengitari alat penumbuk gandumnya, kemudian penduduk neraka bertanya: Hai
fulan! Apa yang menimpamu, bukankah dulu kau memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran? Ia menjawab: Benar, dulu saya memerintahkan
kebaikan tapi saya tidak melakukannya dan saya melarang kemungkaran tapi saya
melakukannya.(HR.Muslim)
Bersyukurlah saat engkau masih risau, artinya hatimu
hidup. Namun sekali lagi, bukan alasan yang bijak untuk menghindar dari ancaman
siksa itu dengan jalan berhenti menjadi (disangka) baik. Tapi risau itu
seharusnya menjadi bahan bakar yang meledak memacu motivasi kita untuk menjadi
sejati dalam kebaikan. Baik sungguhan. Baik original. Bukan baik KW.
Engkau hanya harus benar-benar risau saat hatimu tak lagi
risau. Pujian dan persepsi baik itu makin melenakan dan membuat kita nikmat dan
aman. Saat itulah semoga ada teman yang mengingatkan bahwa punggung kita telah
benar-benar patah oleh pujian. Naudzubillah.