Alangkah indahnya rasa jatuh cinta. Keseluruhannya adalah
indah. Gelisah, resah, dan menekan adalah limbah dari tuntutan yang merupakan
jelmaan berikutnya dari jatuh cinta itu. Bukan cintanya. Ingin bertemu, ingin
bicara, ingin bersamanya. Tentu saja.
Maka sakit adalah saat takdir tidak menghalalkannya.
Sehingga semua tuntutan menjadi terlarang untuk dilampiaskan. Sementara rasa,
mana pernah mau berdamai dengan akal? Bahayanya, saat rasa itu datang pada
jiwa-jiwa muda yang belum matang mencerna bahkan identitas dirinya. Ditambah
sihir kisah-kisah romansa yang terlanjur dijadikan (oleh siapa) teladan nan syahdu mendayu: dari
Barbie, Romeo and Juliet, sampai The Twilight Saga. Semua bicara satu saja: Cinta
mengalahkan segalanya....Lalu para
pejuang cintapun merasa perkasa saat melindas logika. Miapa? Memperjuangkan
cinta.
Sekali lagi, alangkah memang indah rasanya jatuh cinta.
Keseluruhannya adalah indah. Gelisah, resah, menekan adalah limbah dari tuntutan yang merupakan
jelmaan berikutnya dari jatuh cinta. Maka ya, halalkan saja....menjadi jawaban
paling final dari hasrat menyatu yang makin membara. Lalu pasangan cinta
kemudian akan pindah ke surga dunia, serasa.
Hanya, sayang sekali semua kisah roman berakhir dengan ‘lalu
mereka bahagia selamanya’. Forever and ever. Happily ever after. Akan lebih
adil kalau kemudian dipertanyakan, bagaimana kehidupan rumah tangga Princess
Barbie dan sang Pangeran Berkuda Putih setelah 10 tahun pernikahan? Atau
kehidupan Edward Cullen dan Isabella Swan setelah 150 tahun (karena katanya
mereka ini vampir abadi yang tak bisa mati) perjuangan berdarah-darah
menyatukan –sekali lagi- cinta mereka? Abaikan saja Romeo and Juliet karena
mereka keburu bunuh diri sebelum menikah. Supaya tulisan ini tidak berbelok
menjadi kajian aqidah dan fikih hukum dan balasan orang yang mati bunuh diri.
Love is about hormon. That’s all. Kata sebagian orang.
Oksitosin inilah yang membuat jatuh cinta begitu indah dan tak bisa dimengerti.
Maka siapapun manusia, punya peluang yang sama untuk mabuk dalam pusaran rasa
jatuh cinta. Muda tua. Emosional Rasional. Ekstrovert Introvert. Demikian
sehingga sebagian besar ikatan berangkat dari nyala jatuh cinta.
And because love is ONLY about hormon, jadi tak perlu heran
kalau semua pusaran hormon itu punya peluang untuk mati, hilang, menguap. Kapan
saja. Entah bagaimana caranya. Entah kenapa sebabnya. Begitulah rasa.
Kepergiannya sama ajaibnya dengan caranya datang.
Lalu pasangan-pasangan dimabuk cinta itupun tiba-tiba
kehilangan daya lekatnya satu sama lain. Keajaiban itu melemah hentakannya
seiring susutnya sang oksitosin yang –kata ahlinya lagi- akan berkurang ketika
berbenturan dengan kenangan-kenangan buruk yang ditemuinya. Maka tanpa bahan
bakar, dengan apa lagi pusaran cinta itu tetap mampu berputar?
Terlalu besar taruhan di meja perjudian jika modalnya hanya
rasa. Mengerikan sekali saat pilihan teman hidup dijatuhkan hanya karena si oksitosin. Indahnya tak lama. Getarnya cuma
membahana seperti guntur yang tak mampu memanggil hujan. Padahal berapa lama
mampu hidup tanpa air? Bisa dipastikan akan mati kehausan. Cerita romansa tak
akan lebih lama dari durasi film Barbie atau 4 jilid tetralogi Twilight. Sesudahnya?
Tetaplah dunia nyata dan logika yang akan terpampang di depan. Tapi karena berangkat
dari dunia mimpi, genggaman-genggaman itupun berguguran saat harus berjalan
dalam realita. Mengenaskan.
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah pun manusia biasa. Masing-masing
saling memendam cinta. Oksitosin mereka saling memanggil satu sama lain. Mereka
saling jatuh cinta. Dan takdir manyatukan dalam pernikahan. Tapi saat waktu
kemudian mengupas rasa itu menjadi hanya
bersisa kenyataan dan realita. Saat oksitosin itu secara alami memudar
membebaskan nalar dan logika. Masing-masing tidak menemui apapun selain kenyataan
bahwa pasangannya lebih indah dan lebih
mengagumkan dari sebelumnya. Itu karena substansi mereka jauh lebih indah dari bungkus luarnya
Hentakan rasa itu penting tentu saja, melecut niat dan
kelebat harapan supaya segera dinyatakan dalam laku. Tapi tetaplah ia cuma
rasa. Tak terduga dan penuh tanda tanya. Ia cuma lubang ventilasi di dinding
ruang hati, yang dengannya terjaga kesegaran dan kebaruan udaranya. Selebihnya,
tentu saja tetap harus ada jendela. Yang bisa ditutup dan dibuka sesuai
perhitungan logika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar