menuju-Mu

Rabbana, diriku hanyalah setitik debu di hadapan keagunganMu.
Maka jagalah hati ini,
dari terlihat besar di mata manusia
namun kecil di mataMu
dari terasa baik di mata manusia
namun hina di mataMu
dari merasa benar di mata manusia
namun salah di mataMu
Jadikanlah aku lebih baik dari persangkaan diri dan orang lain

Kamis, 27 Februari 2014

(Jangan Jatuh) Cinta


Alangkah indahnya rasa jatuh cinta. Keseluruhannya adalah indah. Gelisah, resah, dan menekan adalah limbah dari tuntutan yang merupakan jelmaan berikutnya dari jatuh cinta itu. Bukan cintanya. Ingin bertemu, ingin bicara, ingin bersamanya. Tentu saja.

Maka sakit adalah saat takdir tidak menghalalkannya. Sehingga semua tuntutan menjadi terlarang untuk dilampiaskan. Sementara rasa, mana pernah mau berdamai dengan akal? Bahayanya, saat rasa itu datang pada jiwa-jiwa muda yang belum matang mencerna bahkan identitas dirinya. Ditambah sihir kisah-kisah romansa yang terlanjur dijadikan  (oleh siapa) teladan nan syahdu mendayu: dari Barbie, Romeo and Juliet, sampai The Twilight Saga. Semua bicara satu saja: Cinta mengalahkan segalanya....Lalu  para pejuang cintapun merasa perkasa saat melindas logika. Miapa? Memperjuangkan cinta.  

Sekali lagi, alangkah memang indah rasanya jatuh cinta. Keseluruhannya adalah indah. Gelisah, resah, menekan  adalah limbah dari tuntutan yang merupakan jelmaan berikutnya dari jatuh cinta. Maka ya, halalkan saja....menjadi jawaban paling final dari hasrat menyatu yang makin membara. Lalu pasangan cinta kemudian akan pindah ke surga dunia, serasa. 

Hanya, sayang sekali semua kisah roman berakhir dengan ‘lalu mereka bahagia selamanya’. Forever and ever. Happily ever after. Akan lebih adil kalau kemudian dipertanyakan, bagaimana kehidupan rumah tangga Princess Barbie dan sang Pangeran Berkuda Putih setelah 10 tahun pernikahan? Atau kehidupan Edward Cullen dan Isabella Swan setelah 150 tahun (karena katanya mereka ini vampir abadi yang tak bisa mati) perjuangan berdarah-darah menyatukan –sekali lagi- cinta mereka? Abaikan saja Romeo and Juliet karena mereka keburu bunuh diri sebelum menikah. Supaya tulisan ini tidak berbelok menjadi kajian aqidah dan fikih hukum dan balasan orang yang mati bunuh diri.

Love is about hormon. That’s all. Kata sebagian orang. Oksitosin inilah yang membuat jatuh cinta begitu indah dan tak bisa dimengerti. Maka siapapun manusia, punya peluang yang sama untuk mabuk dalam pusaran rasa jatuh cinta. Muda tua. Emosional Rasional. Ekstrovert Introvert. Demikian sehingga sebagian besar ikatan berangkat dari nyala jatuh cinta. 

And because love is ONLY about hormon, jadi tak perlu heran kalau semua pusaran hormon itu punya peluang untuk mati, hilang, menguap. Kapan saja. Entah bagaimana caranya. Entah kenapa sebabnya. Begitulah rasa. Kepergiannya sama ajaibnya dengan caranya datang.

Lalu pasangan-pasangan dimabuk cinta itupun tiba-tiba kehilangan daya lekatnya satu sama lain. Keajaiban itu melemah hentakannya seiring susutnya sang oksitosin yang –kata ahlinya lagi- akan berkurang ketika berbenturan dengan kenangan-kenangan buruk yang ditemuinya. Maka tanpa bahan bakar, dengan apa lagi pusaran cinta itu tetap mampu berputar? 

Terlalu besar taruhan di meja perjudian jika modalnya hanya rasa. Mengerikan sekali saat pilihan teman hidup dijatuhkan hanya karena  si oksitosin. Indahnya tak lama. Getarnya cuma membahana seperti guntur yang tak mampu memanggil hujan. Padahal berapa lama mampu hidup tanpa air? Bisa dipastikan akan mati kehausan. Cerita romansa tak akan lebih lama dari durasi film Barbie atau 4 jilid tetralogi Twilight. Sesudahnya? Tetaplah dunia nyata dan logika yang akan terpampang di depan. Tapi karena berangkat dari dunia mimpi, genggaman-genggaman itupun berguguran saat harus berjalan dalam realita. Mengenaskan.

Ali bin Abi Thalib dan Fatimah pun manusia biasa. Masing-masing saling memendam cinta. Oksitosin mereka saling memanggil satu sama lain. Mereka saling jatuh cinta. Dan takdir manyatukan dalam pernikahan. Tapi saat waktu kemudian mengupas  rasa itu menjadi hanya bersisa kenyataan dan realita. Saat oksitosin itu secara alami memudar membebaskan nalar dan logika. Masing-masing tidak menemui apapun selain kenyataan bahwa pasangannya  lebih indah dan lebih mengagumkan dari sebelumnya. Itu karena substansi mereka jauh lebih indah dari bungkus luarnya

Hentakan rasa itu penting tentu saja, melecut niat dan kelebat harapan supaya segera dinyatakan dalam laku. Tapi tetaplah ia cuma rasa. Tak terduga dan penuh tanda tanya. Ia cuma lubang ventilasi di dinding ruang hati, yang dengannya terjaga kesegaran dan kebaruan udaranya. Selebihnya, tentu saja tetap harus ada jendela. Yang bisa ditutup dan dibuka sesuai perhitungan logika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar