menuju-Mu

Rabbana, diriku hanyalah setitik debu di hadapan keagunganMu.
Maka jagalah hati ini,
dari terlihat besar di mata manusia
namun kecil di mataMu
dari terasa baik di mata manusia
namun hina di mataMu
dari merasa benar di mata manusia
namun salah di mataMu
Jadikanlah aku lebih baik dari persangkaan diri dan orang lain

Rabu, 17 Oktober 2012

Tersangka Baik


Dengan kerudung lebar, baju longgar, dan kaos kaki seringkali banyak orang dan orang kebanyakan di sekitar kita menjadi over-estimate. Apalagi saat tanpa sengaja mereka mengintip ada alquran kecil dalam tas kita. Plus, HP yang menyalak nyaring menggemakan lagu tanpa musik yang syairnya ada kata ‘cinta Allah’, ‘syahid’, ‘surga’….atau bahkan murrotal.
Maka jangan salahkan mereka kalau kita diterjemahkannya sebagai ‘orang-orang yang lambungnya jauh dari tempat tidur’. Tak pernah semalampun terlewat tanpa membasahi sajadah dengan airmata munajat. Wajar jika mereka mencurigai kita adalah istri-istri sholihah yang selalu memandang suami dengan mata qona’ah, tak pernah membantah, apalagi marah-marah.
Belum lagi ketika ternyata kita mendapat amanah membagi ilmu, menjadi pengisi majelis taklim ibu-ibu lugu yang dengan mentah dan jujurnya langsung menempatkan kita sebagai contoh hidup dari materi yang kita sampaikan. Sabar. Pintar. Rapi. Ramah.
Di cap baik itu tentu menyenangkan, tetapi di –cap jauh lebih baik dari kenyataannya seringkali justru menggelisahkan. Duhai, alangkah malu nanti di Padang Mahsyar saat semua diputar ulang. Mereka akan tahu bahwa alquran kecil yang selalu ada di tas itu lebih demi mengejar setoran hafalan yang lewat deadline. Bagaimanakah rasanya nanti saat diketahui betapa ternyata malam-malam kita tak lebih baik dari mereka. Atau profil cerdas nan terjaga itu hanya saat tampil sepekan sekali di hadapan mereka sementara 6 hari lainnya kita hanyalah wanita-wanita yang juga terjebak di depan acara gosip televisi. Naudzubillah…
Mungkin itulah yang membuat seorang teman begitu panik saat mendapat pujian. Seperti siang itu saat seorang temanku sedang sibuk membantah ‘citra baik’ yang dilekatkan seorang ibu -mad’u- nya kepadanya.
“Kapan ya saya bisa seperti mbak? Sholihah, cantik. Aduh, pasti suaminya senang sekali punya istri seperti mbak ini. Saya tuh mbak kalau sudah ngeliat mbak jadi semangat ingin pintar, ingin rajin ibadah, ingin tutup aurat dengan sempurna. Tapi sampai di rumah kembali lagi deh ngomel-ngomel, ngerumpi. Gimana sih mbak biar bisa kayak mbak ini?” kata si ibu  sambil tangannya sibuk mengusap-usap, menepuk-nepuk, dan bahkan sedikit mengguncang-guncang tangan temanku yang terlipat kikuk.
Tidak sekali dua aku melihat hal semacam itu, bahkan juga mengalaminya sendiri. Menghadapi  prasangka orang yang terlampau baik terhadap diriku. Rata-rata reaksi teman-teman seragam. Mereka cepat-cepat memotong lalu mengupas diri dengan menyebut semua kebiasaan-kebiasaan buruknya.
“ Ah, nggak jugalah bu. Ibu tahu tadi malam saja saya tidak qiyamul lail bahkan Subuh kesiangan. Bahkan  saya masih punya hutang puasa saat menyusui anak saya yang pertama, padahal sekarang sudah hamil anak ketiga nih.”
“Saya tidak sebaik itu bu. Kalau marah juga kadang saya suka lepas kontrol. Malah saya ini sebenarnya termasuk orang yang gampang marah lho bu”
“Waduh, saya juga masih suka kok bu nonton gossip…hehehhe…”
Saya yakin semua jawaban atau bantahan itu berasal  dari kepanikan. Kita takut dengan citra baik yang dilekatkan orang pada kita. Tapi meruntuhkannya dengan membuka aib sendiri saya rasa juga kurang ahsan.
Tak ada seorang manusiapun di dunia ini yang tak pernah berbuat kesalahan. Karena khilaf, karena tidak paham ilmu, karena nafsu, karena lingkungan. Yang terpenting adalah karena memang sebenarnya Allah telah menakdirkan kita sebagai rumah bagi iman yang fluktuatif.
Maka mencari sosok ideal yang seluruh perjalanan hidupnya putih bersih adalah menjadi sebuah kemustahilan. Begitupun kita. Ketika saat ini banyak orang melabeli kita dengan judul yang kadang terasa terlalu jauh dari diri kita yang sebenarnya maka tidak lantas harus disikapi  dengan begitu reaktif. Membongkar semua keburukan dan aib-aib diri degan lugas dan deskriptif.
Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya. (HR. Muslim)
Saat Allah swt membaikkan dirimu di mata orang-orang di sekelilingmu, itu artinya Dia telah memakaikan busana kasih sayang-Nya padamu. Kita selayaknya pemilik hak cipta amal yang terus mendapat royalti dari pengkonsumsi produk kita. Sungguh tidak semua manusia mendapat anugerah seindah itu.
Rasa panik, rasa malu, rasa segan, saat kita tahu kita dihargai terlalu mahal dibanding kualitas kita yang sebenarnya bukanlah alasan untuk kita mengoyak perlindungan yang telah Allah lekatkan. Justru adanya rasa itu adalah tuntunan Allah untuk menggiring kita kepada tekad untuk sungguh-sungguh memantaskan diri terhadap persepsi dunia luar.
Alangkah risau hati ini membaca sabda Rasulullah saw
Pada hari kiamat nanti akan didatangkan seorang lelaki kemudian dilemparkan ke neraka hingga ususnya terburai keluar dan berputar-putar dineraka seperti keledai mengitari alat penumbuk gandumnya, kemudian penduduk neraka bertanya: Hai fulan! Apa yang menimpamu, bukankah dulu kau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?  Ia menjawab: Benar, dulu saya memerintahkan kebaikan tapi saya tidak melakukannya dan saya melarang kemungkaran tapi saya melakukannya.(HR.Muslim)
Bersyukurlah saat engkau masih risau, artinya hatimu hidup. Namun sekali lagi, bukan alasan yang bijak untuk menghindar dari ancaman siksa itu dengan jalan berhenti menjadi (disangka) baik. Tapi risau itu seharusnya menjadi bahan bakar yang meledak memacu motivasi kita untuk menjadi sejati dalam kebaikan. Baik sungguhan. Baik original. Bukan baik KW.
Engkau hanya harus benar-benar risau saat hatimu tak lagi risau. Pujian dan persepsi baik itu makin melenakan dan membuat kita nikmat dan aman. Saat itulah semoga ada teman yang mengingatkan bahwa punggung kita telah benar-benar patah oleh pujian. Naudzubillah.

Jumat, 12 Oktober 2012

Patah Hati


Terhempaslah hatiku malam ini
Pedih, hancur, tak tersisa
Tersayat…
Begitu tajam
Sangat dalam

Angin terik berpasir seperti ingin turut menyiksa
Menambah gores luka
Sungguh, sakitnya tak terkata

Aku kehilangan jiwa
Mencari udara
Bernafaspun terasa hampa

Aku tercabik begitu rupa
Saat cinta kau cabut paksa

Aku serpihan kulit kayu
Yang luruh meranggas walau tak mau

Aku daun gugur
Jatuh melayang lalu terpijak
Remuk redam
Hancur

Tanpa cintamu, aku bisa apa
Bahkan sejuk air telaga dini hari pun terasa membakar raga

Bagaimana harus hidup
Bila ruh ku telah mati

Tanpa pesonamu di depan sana
Kemana aku akan berdiri dan menuju?

Sekali lagi
Kau pergi
Seringan anai-anai yang melayang

Aduhai mengapa
Dengan luka sebesar dunia
Aku masih saja cinta
Aku masih selalu cinta

Rabu, 10 Oktober 2012

Tercecer Surga di Sekeliling Kita. Pungutlah..


Sebagian orang mengukur kebahagiaannnya dengan kesuksesan dunia saja. Rumah besar, kendaraan mewah, pasangan ganteng atau cantik, gelar berderet, sarapan di Perancis, makan siang di Jepang, makan malam di Palestina. Sementara akhirat dilupakan, sholat sering, puasa pernah, baca Alquran waktu khitan doang. Ada juga yang mengukur suksesnya kehidupan hanya dari amal-amal akhiratnya saja sementara kehidupan duniawinya tak jelas bentuknya. Duan-duanya tidak sehat. Yang bagus adalah kita bisa menjadikan sukses kita dunia sebagai bagian dari sukses akhirat. Itulah sebenarnya pola ideal yang diajarkan Islam.
Menjadikan sukses dunia sebagai bagian dari kesuksesan akhirat kita nanti. Bagaimana caranya? Caranya dengan menjadikan seluruh kegiatan kita di dunia ini punya nilai akhirat. Banyak pekerjaan,aktivitas, amal, yang sepertinya cuma sekedar aktivitas  dunia doang, tapi bila kita tahu cara mengerjakannya dengan benar- mulai dari niat dan tatacaranya- akan menjadi amal yang bernilai akhirat juga.
Kalau sudah sadar ini, kalau sudah paham ini, maka kita pasti lebih bersemangat melakukan rutinitas keseharian kita, karena selain memang sudah tugas kita juga bisa mendekatkan kita kepada surga. Menambah tabungan kita untuk nanti perjalanan ke surga. Harus begitu? Ya! Karena kalau kita hanya mengandalkan bekal dari ibadah-ibadah mahdhoh, ibadah-ibadah rutin, kita akan ketemu dengan banyak keterbatasan kita sebagai manusia.
Jadi analoginya begini supaya mudah dipahami: Membeli  motor seharga 12 juta kontan mungkin akan terasa sangat memberatkan. Beda kalau kita membeli dengan cara mengangsur , tiap bulan 500rb mungkin. Tetap mahal sih tapi terasa lebih ringan. Begitu juga kalau kita mau membeli surga dengan hanya bermodalkan ibadah formal, berapa banyak sih puasa sunnah yang bisa kita lakukan? Berapa ratus rakaat sih sholat sunnah yang mampu kita lakukan setiap harinya? Belum terpotong haid seminggu, males 6 hari, sakit 3 hari, galau 15 hari, berapa hari yang bisa tersisa benar-benar untuk ibadah? Padahal surga itu mahal. Bukan berarti ibadah formal itu tak perlu dikejar, melainkan ibadah formal ini ditambah dan dipercepat dengan amal-amal dunia yang bernilai amal akhirat. Jadi yang ibadahnya sedikit dikatrol oleh amal dunianya, yang ibadahnya sudah banyak makin disempurnakan dengan amal dunianya.
Nah, amal-amal duniawi apa saja yang bisa kita jadikan dari bagian mengejar sukses akhirat?
   Mencari mata pencaharian
Mungkin bekerja mencari nafkah itu kelihatannya hanyalah sekedar mencari uang untuk makan dan minum. Sesuap nasi dan segenggam berlian. Bekerja ya bekerja aja, mana mungkin gak kerja, anak istri makan apa? Benar sekali, tapi alangkah sayangnya kalau bekerja ini ‘hanya’ sampai di situ saja memaknainya. Padahal ia bisa kita jadikan kendaraan ke surga. Jadi mulai sekarang jadikanlah mencangkul di sawah, mencuci piring, berdagang tempe, sebagai sebuah upacara suci, pekerjaan suci yang dengannya kita bisa sampai ke pintu surga. Jadi untung dobel, sudah dapat uang juga dapat pahala, sekali dayung dua tiga pulau terlewati. Kan enak ini. Sukses dunia, sukses akhirat. Perut kenyang, Allah senang.

Rasulullah saw bersabda,”Diantara dosa-dosa, ada dosa yang tidak bisa dihapus oleh shalat, tidak pula oleh puasa, tidak pula oleh haji, tetapi bisa dihapus dengan kelebihan mencari mata pencaharian.”(HR.Thabrani)

Ingat, saudaraku..
Nafkah bisa lahir bisa batin. Bahkan nafkah batin yang diberikan seseorang kepada pasangannya juga bisa menjadi kendaraan ke surga. Sukses dunia sukses akhiratnya.

 Mengalami musibah
Hidup ini hanyalah berpindah dari suka ke duka, dari syukur ke sabar. Begitu seterusnya. Musibah itu sudah jatah kita, jatah setiap orang. Tak ada seorangpun di dunia ini yang tidak pernah diuji dengan kesedihan hati. Tak seorangpun di dunia ini yang tak pernah menangis. Tak seorangpun di dunia ini yang tak pernah galau. Ditinggal mati orang-orang yang kita cintai, kehilangan benda kesayangan kita, mendapat penyakit, adalah peristiwa yang sering ada dalam perjalanan hidup kita. Tak seorangpun menginginkannya,tapi tak seorangpun juga kuasa menolaknya.
Maka kalau tidak bisa ditolak, kenapa tak kita bikin saja musibah ini mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya untuk kita? Jadikan musibah-musibah ini sebagai tabungan kita kelak di akhirat. Caranya? Sabarkan diri dan berlindung pada Allah. Tawakal kepadaNya.
Semoga perjuangan kita berobat ketika sakit, luka-luka perih di hati saat disakiti orang yang kita cintai, pedihnya kehilangan saat orang yang kita cintai meninggal, akan dicatat oleh Allah sebagai amal surgawi. Sebagai tabungan kita kelak di akhirat.
Renungkanlah sabda Rasulullah saw berikut:
“Tidaklah kesulitan dan sakit menimpa seorang muslim, tidak juga kegalauan, kesedihan, duka, dan beban, hingga duri yang mengenai kakinya, kecuali menjadi penebus sebagian dari kesalahan-kesalahannya.”(HR.Bukhari dan Muslim, dari Abu Said dan Abu Hurairah)
Camkanlah itu…duri yang melukai kaki kita saja akan bisa menjadi penebus dosa kita, apalagi duri yang melukai hati…

Ini sebuah hadits qudsi yang juga menegaskan hal yang sama:
Tidaklah ada balasan bagi seorang hamba-Ku yang mukmin di sisi-Ku bila Aku panggil orang yang dicintainya dari  dunia, lalu ia bersabar dan memohon balasan (kepada-Ku) kecuali baginya adalah surga.”(HR.Bukhari, dari Abu Hurairah)
Kematian orang yang kita cintai adalah musibah kelas tinggi. Bagaimana tidak, seseorang yang bertahun-tahun menjadi bagian dari diri kita sudah tak ada lagi, tak akan bisa kita lihat wajahnya, kita dengar suaranya, kita sentuh kulitnya, betapapun rindunya hati kita. Itulah mengapa Allah langsung memberikan stempel surga, kontan, tunai, bagi orang yang mampu menjawabnya dengan sabar. Berat. Sangat berat. Tapi manis.

  Melakukan pekerjaan ringan dan terkesan sepele
Di keseharian kita, banyak sekali kejadian-kejadian, amal-amal, pekerjaan-pekerjaan yang kalau kita lihat bungkus luarnya itu biasa aja. Nyapu halaman, ada tetangga lewat, kita senyum…pahala. Suami pulang, kita senyum, pahala. Jalan ke warung mau beli garam, kesandung batu, lalu dibuanglah batu itu agar nanti yang lewat setelah kita jadi tidak tersandung juga, pahala. Makan kerupuk eh ada ayam nyosor-nyosor di kaki, bagi sedikit kerupuknya, pahala. Yang diperlukan hanyalah meleknya mata hati kita, sehingga kita bisa memasukkan sentuhan niat yang benar kedalam semua yang terkesan ‘sepele’.
Bukankah Rasulullah saw pernah mengisahkan seorang pelacur yang masuk surga karena menolong anjing yang kehausan? Atau juga seorang wanita yang masuk neraka karena mengerangkeng kucing hingga kucing itu kelaparan lalu mati?
Nah, jadi silahkan….temukan surga-surga itu di sekeliling kita. Biar tambah ngejos kita nanti ke surganya.

 Menuntut ilmu
Ilmu itu memuliakan seseorang. Macam-macam ilmu yang dipelajari orang sesuai minat dan kemauannya. Ada yang suka belajar menjahit. Ada yang pandai ilmu masak. Ada yang pandai menghitung uang..eits ini mah gak perlu ilmu ya.
Intinya, menuntut ilmu, belajar, itu adalah pekerjaan baik dan sangat bernilai di sisi Allah. Apalagi kalau kita menjadikannya bagian dari akhirat kita. Caranya? Bersabar menuntut ilmu. Ah sudah deh, lidah saya ini memang bukan lidah Arab, mana bisa bacaan Quran saya bagus? Ah, sudah deh saya memang gak bakat masak, mau apa lagi? Aduh, sudah setua ini ya gak mungkin saya bisa menghafal Quran, wong nama cucu sendiri saya suka lupa…
Bersabar menekuni ilmu artinya kita sedang menjadikan detik-detik waktu yang kita habiskan itu makin mendekatkan kita pada surga. Kemudian mengajarkan ilmu kita, jangan pelit, kalau punya resep kue baru rasanya sayang kalau harus dibagi dengan tetangga sebelah. Juga tak kalah pentingnya memanfaatkan ilmu itu untuk kepentingan kaum muslimin. Yang pandai nyeterika, tiap hari keliling rumah tetangga nyeterikain bajunya..hehe nggak ya..
Jadi begitu, ilmu yang kita punyai juga bisa menjadi kendaraan kita ke surga. Sukses dunia sukses akhirat.

Melakukan pekerjaan yang terkait dengan memakmurkan bumi
Banyak ayat Allah yang memerintahkan kita untuk melestarikan bumi dan melarang kita berbuat kerusakan di dalamnya
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”(QS.Al Baqarah:29)
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah)dibangkitkan.”(QS.Al Mulk:15)
Jadi patutlah berbangga orang-orang yang profesinya ditakdirkan berkaitan dengan pelestarian bumi. Penyapu jalan, polisi hutan, ahli pertanian, dan sebagainya. Bagaimana dengan kita yang guru ini? Yang dokter?Yang penjual kain? Yang ibu rumah tangga? Tidak berarti kita tidak bisa ikut serta memakmurkan bumi. Dimulai dari rumah, kita bisa mulai memisahkan antara sampah gampang hancur dengan sampah yang butuh ribuan tahun untuk hancur. Kalau belanja ke pasar bawa tas sendiri supaya penggunaan tas kresek tidak di luar batas (satu kali ke pasar biasanya kita ikut membawa pulang banyak tas kresek, beli tempe dikresekin, beli cabe dikresekin…). Menanam pohon di pekarangan rumah. Ini juga akan menjadikan kita sukses di akhirat nanti.
Khusus tentang menanam pohon saya benar-benar dibuat termenung dan takjub ya. Sebagai seseorang yang ditakdirkan sering pindah rumah karena mengikuti tugas suami saya selalu menempati rumah yang punya pohon mangga. Bahkan yang sekarang ada pohon jambu di depan jendela kamar yang sepertinya menjadi favorit anak-anak. Tiap hari ada saja yang meminta izin naik dan mengambil jambu.
Saya berpikir, mungkin si penanam pohon ini sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu, tapi lihatlah luar biasa pohon tanamannya masih saja bisa mnyenangkan banyak orang. Alangkah hebatnya menanam pohon.
Banyak ayat Allah yang memerintahkan kita untuk melestarikan bumi dan melarang kita berbuat kerusakan di dalamnya

Melakukan pekerjaan yang dampak baiknya bisa dirasakan oleh banyak orang
Tabungan untuk akhirat juga bisa kita tambah dengan melakukan pekerjaan yang manfaatnya dirasakan oleh banyak orang.
Saya tidak akan tanggung-tanggung mengambil contoh. Lihat saja orang yang paling penting dalam sebuah negeri: presiden. Alangkah hebatnya presiden yang bisa menjadikan jabatannya sebagai tabungan. Satu keputusannya akan berdampak pada seluruh negeri. Padahal berapa jumlah penduduk Indonesia sekarang? Luar biasa kan presiden? Jadi semestinya kalau bisa amanah orang yang paling cepat ke surga itu presiden karena apa yang diperbuatnya akan dilipatkan sesuai jumlah rakyatnya. Tapi kasihan sekali kalau tidak, mungkin justru paling cepat ke neraka karena saat tidak amanah, maka yang menerima akibatnya juga seluruh negeri.
Nah, begitulah semangat menabung untuk membeli surga. Harus kita cari dari segala kesibukan kita, setiap hari, setiap saat. Karena waktu kita bertambah sempit sedangkan kedurhakaan kita sangat banyak. Ingatlah selalu, kita akan menuai apa yang kita tanam. Tanamlah sebanyak mungkin. Agar hasil panen kita juga banyak.

Mari kita akhiri dengan merenungi nasehat Luqman pada anaknya “Hai anakku, sesungguhnya jika ada(sesuatu perbuatan)seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkan (balasan)nya.”(QS.Luqman:16)