menuju-Mu

Rabbana, diriku hanyalah setitik debu di hadapan keagunganMu.
Maka jagalah hati ini,
dari terlihat besar di mata manusia
namun kecil di mataMu
dari terasa baik di mata manusia
namun hina di mataMu
dari merasa benar di mata manusia
namun salah di mataMu
Jadikanlah aku lebih baik dari persangkaan diri dan orang lain

Senin, 30 Januari 2012

Menyederhanakan Kebahagiaan

What a new sunny day, as bright as my mind  ^_^d.

Benarlah kata Rasulullah SAW bahwa kesehatan itu adalah mahkota di kepala orang-orang yang sehat sementara yang bisa melihat mahkota itu adalah orang-orang yang sedang ditimpa sakit.

Duhai betapa rasanya seolah memiliki dunia dan seisinya ketika baru sembuh dari sakit. Setidaknya begitulah yang kurasa. Seminggu yang lewat, badanku bergumul dengan ketidaknyamanan dan keterbatasan. Tak ada satupun makanan lezat yang bisa menerbitkan rasa laparku. Mual, lemah, dan tak bertenaga. Batinku pun memiliki penyakitnya sendiri. Cemas, takut, ingin tahu membuatku tak bisa memikirkan hal lain selain what's wrong with my body? (see my previous entry).

Yang menakjubkanku adalah, bahwa seolah kesadaranku disentak sekali lagi bahwa hidup ini memanglah begitu ringkih. This world is so fragile. Betapa rencana-rencana manusia itu sangat tipis dan semu. Ia seperti menata keping-keping kertas tipis di atas tanah kehidupan yang maha luas, sekali angin meniupnya maka akan berserakan kemana-mana. Bahkan melayang jauh, hilang. Jika anginnya cukup besar dan kencang.

Dan ternyata kebahagiaan itu amatlah sederhana. Harapan dan target kitalah yang terkadang membuat kebahagiaan itu seolah begitu jauh di depan sana. Pencapaian tentu penting, prestasi juga jelas akan menambah izzah kita sebagai muslim. Tapi saat harapan dan target itu telah lebih sering membuat kita 'terprovokasi' daripada 'termotivasi', mungkin telah tiba waktunya kita diingatkan tentang kenikmatan terbesar yang justru paling sering kita lupa syukuri: kesehatan.

Allahumma 'aafinii fii badanii. Allahumma 'aafinii fii sam'ii. Allahumma 'aafinii fii basharii.

Jumat, 20 Januari 2012

Ah, (cuma?) Bercanda....!


Sebagai makhluk sosial, manusia tentunya dituntut untuk bisa berinteraksi dengan manusia yang lain. Karena manusia tidak bisa  hidup sendiri, melainkan butuh orang lain dalam memenuhi hajat-hajat hidupnya. Untuk bisa melahirkan seorang manusia saja,  seorang ibu butuh seorang suami. Saat lahir pun akan membutuhkan bantuan dari bidan atau dokter. Dan seterusnya sampai kita dewasa pasti akan membutuhkan peran orang lain dalam hidup kita.

Maka, seorang manusia sejatinya harus bisa berinteraksi dengan manusia yang lain dengan baik. Membangun keakraban,  membangun suasana kekeluargaan, menjalin persahabatan. Rasulullah pun memerintahkan kita untuk menjadi orang yang suka bergaul di masyarakat dengan baik : “Mukmin yang bergaul ditengah-tengah masyarakat dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada mukmin yang tidak bergaul dan tidak bersabar dengan gangguan orang” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath
)
Dalam bergaul, kadang diperlukan bumbu-bumbu agar muamalah tidak membosankan, tidak kaku dan supaya mudah tercipta keakraban. Bumbu-bumbu tersebut kadang berupa candaan. Bisa berupa plesetan, humor, tingkah yang lucu, sindiran dan segala macam bentuk canda yang bisa mencairkan suasana. Tentu saja hal ini adalah perkara mubah, boleh-boleh saja.

Bahkan Rasulullah pun suka bercanda. Anas ra. Meriwayatkan bahwa pernah ada seorang laki-laki meminta kepada Rasulullah agar membawanya di atas kendaraan. Kemudian Rasulullah berkata: “Aku akan membawamu di atas anak unta”. Orang tadi bingung karena ia hanya melihat seekor unta dewasa, bukan anak unta. Kemudian Rasulullah berkata: “Bukankan yang melahirkan anak unta itu anak unta juga?” (HR.Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad yang shahih)

Perlukah canda dibahas sedemikian rupa? Ya, saudaraku. Karena walaupun ia terdengar sepele ia juga bisa menjadi berbahaya apalagi bila setan telah menyusup ke dalamnya. Karena biasanya ketika bercanda satu sama lain berlomba untuk mendatangkan kata-kata yang paling lucu bagi orang lain. Bahkan kadang dalam canda itu terselip kata-kata yang tidak patut, menyakitkan, mencela, dan lain sebagainya yang sebenarnya kita tahu tidak patut dilontarkan tetapi ada stempel berbahaya yang ketika dicapkan pada kata-kata seburuk apapun menjadi seolah tidak apa-apa. Stempel yang bagaimana itu? Yaitu stempel kata-kata “Ah, cuma bercanda…”.

Maka dari itulah sebagai insan yang mencintai ilmu dan merindukan kebenaran, kita perlu mengkaji sebenarnya bagaimana pandangan, aturan, dan tuntunan agama kita dalam bercanda ini.
Yang perlu kita ketahui sebelum menyantap makanan tentu adalah status kehalalannya. Demikian setiap aktivitas yang kita lakukan mesti kita kenali dulu hukumnya. Bercanda itu hukumnya asalnya adalah mubah (boleh)
“Dan sesungguhnya Dia-lah yang membuat orang tertawa dan menangis.”(QS.an Najm:43)
  
Menurut Ibnu Hajar al Asqalany Allah telah menciptakan dalam diri manusia tertawa dan menangis maka silahkan kita tertawa dan menangis namun harus kita kuasai aturan atau adab-adabnya.
Seseorang pernah datang kepada Sufyan bin Uyainah ra dan berkata “Canda itu adalah suatu keaiban” maksudnya ia adalah sesuatu yang harus dijauhi. Sufyan bin Uyainah menjawab 
“ Tidak demikian, justru canda itu sunnah hukumnya bagi orang yang membaguskan candanya dan menempatkan canda sesuai situasi dan kondisi.”
Jadi bercanda itu unik, karena ia adalah aktivitas yang bisa bermanfaat tapi juga bisa mendatangkan mudharat tergantung bagaimana kita mempraktekkannya.

Manfaat canda:                                                                                                                           
1.       Menyenangkan sesama dan menunjukkan kasih sayang
“Fathimah ra pernah berkata,’Rasulullah saw pernah menyenangkan hatiku dengan berita gembira atau yang lainnya, lalu aku tertawa.’”(HR.Bukhari)
Sa’id bin Al Ash pernah berkata kepada putranya “Kurang bercanda akan membuat orang yang ramah berpaling darimu, sahabat-sahabatmu pun menjauhimu.”
Abul Hatim pun juga memperkuat perkataan ini dengan kata-kata “Merupakan kewajiban orang berakal untuk membuat hati manusia cenderung (senang) kepadanya dengan cara bercanda bersama mereka dan tidak bermuka masam (cemberut).”
Tapi ingat, yang dimaksud Sa’id bin Al Ash dan Abu Hatim ini adalah candaan yang sedang-sedang saja dan tidak melampaui batas. Mengenai ukuran canda yang tidak melampaui batas ini ada sebuah perkataan menarik dan cerdas dari Abu Al Fath Al Basaty lewat syairnya :
Jika engkau beri dia canda, hendaklah dengan kadar seperti engkau memberi garam pada makanan
Kadar garam pada makanan itu kan benar-benar sangat intuitif. Tak pakai tentu tak enak rasanya, kebanyakan tentu mengkeret yang makan hidangannya.
2.       Menghilangkan marah, takut, dan kesedihan

Mudharat Canda

1.       Dekat pada dusta, ghibah, dan melampaui batas
“Berpegangteguhlah kalian dengan kebenaran (shidq), karena sesungguhnya shidq itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan (menghantarkan) kepada surga. Seseorang senantiasa benar (tidak dusta) dan (terus) menuntut kebenaran sampai dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat benar. Sesungguhnya dusta itu mengantar orang kepada kejahatan, dan kejahatan itu mengantar orang kepada neraka. Seseorang senantiasa dusta dan (terus) melakukan dusta sampai ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat pendusta.”
Seperti yang sudah saya singgung di atas bahwa dalam kondisi bercanda sungguh lebih sulit menjaga lisan daripada dalam kondisi serius. Ketika bercanda, kita seolah-olah merasa sah-sah saja berdusta.

Contohnya: Bu Rusin datang terlambat ke majelis ta’lim sore itu. Ibu-ibu sudah hampir semua berkumpul. Salah seorang ibu bertanya dengan maksud bercanda
“Masih mandiin Pak Rusin ya bu?”
Tertawalah ibu-ibu di forum itu, merasa terhibur dan senang dengan candaan tersebut. Melihat itu, bu Rusin ikut tergoda untuk menambah meriah suasana
“Iya nih, sekalian nyuapin, hehe…”
Semua tahu itu dusta, semua paham tidak mungkin Bu Rusin masih memandikan dan menyuapi suaminya yang masih sehat wal afiat tak kurang suatu apa. Tapi karena dilakukan dalam konteks bercanda maka semua ibu-ibu tidak sadar bahawa dusta tetaplah dusta.
 
2.       Mematikan hati
“Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati (kalbu).”(Shahihul Jami’ 7312)

Hati yang mati itu sulit untuk khusyu’. Hati yang mati sulit untuk mengembang karena harap kepada rahmat Allah dan mengkerut karena takut pada azab Allah. Jadi hatinya itu seolah kebal dan bebal. Dan kata Rasulullah salah satu sebab hati menjadi kebal sedemikian rupa adalah terlalu banyak tertawa.

3.       Melunturkan wibawa
Umar bin Khattab pernah berkata “Barangsiapa banyak tertawa maka akan berkurang wibawanya. Barangsiapa banyak bercanda ia akan diremehkan, dan barangsiapa banyak melakukan sesuatu maka ia kan dikenal karenanya.”
Kita harus bijaksana menerjemahkan kata ‘wibawa’ ini. Dalam Islam kita mengenal kata ‘izzah’, izzah itu adalah cara kita menghargai diri sendiri. Cara kita memandang dan memperlakukan diri kita sendiri akan mempengaruhi cara orang lain dalam memandang dan memperlakukan kita. Maka tidak ada salahnya saat kita merasa diperlakukan tidak seperti yang kita harapkan kita perlu bercermin diri mungkinkah hal-hal yang tidak kita inginkan itu terjadi salah satunya karena sikap kita sendiri.
 
4.       Menimbulkan sifat dengki
Banyak sekali pertengkaran, hati yang terluka, ketersinggungan, berawal dari canda. Canda yang dilontarkan sebagai canda namun karena tidak memenuhi adab maka ia diterima sebgai sebuah jarum tajam yang melukai si pendengar. Maka tak berlebihan kiranya kalau disebut bahwa canda itu dapat menimbulkan kedengkian dan permusuhan.
Kata Khalifah Umar bin Abdul Azis “ Takutlah kalian pada canda, sebab canda dapat mewariskan rasa dengki.”

Nah, kalau demikian apa sajakah sebenarnya adab-adab canda itu?

1.       Tidak mengandung dzikir kepada Allah dan ayat-ayatNya, hadits-hadits Rasulullah dan syair-syair Islam lainnya
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya, dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. at Taubah: 65-66)

Menurut At Thabari dalam perang Tabuk ( 9 H) ada sebagian kaum mengejek para qurra’ (pembaca/penghafal Quran) dengan perkataan “Kami tidakpernah melihat orang seperti qurra’ kami itu yang lebih mementingkan urusan perut (duniawi). Lisan-lisan mereka selalu dusta dan mereka paling takut kalau bertemu musuh.”
Cacian mereka ini didengar oleh Rasulullah saw dan kemudian tak lama turunlah ayat tersebut di atas.
Ibnu Utsaimin berkata “ Segi-segi yang berkaitan dengan tauhid Rububiyah, risalah, wahyu, dan dien ini adalah segi-segi yang harus dihormati. Tak seorangpun boleh bermain-main dalam wilayah ini, baik dengan mengolok-olok, mentertawakan, maupun ejekan-ejekan atau guyonan.”

Bahkan beliau mencap orang-orang semacam ini telah kafir karena telah menghina Allah. Maka kepada yang telah terlanjur pernah melakukannya ia wajib bertaubat sambilterus menyesali dan memperbaiki amalnya.

Saya pribadi cukup sering mendengar, membaca, atau melihat komunitas orang, tulisan, ataupun sekedar obrolan yang isinya candaan tentang syariat, ibadah, bahkan Nabi dan zat Allah sendiri. Yang paling lumrah mungkin anekdot-anekdot atau pelesetan tentang seorang ulama, kyai, atau tokoh-tokoh agama lainnya. Bahkan mempelesetkan lafadz doa,lafadz adzan, atau salam.

Hal ini harus juga harus kita tanamkan kepada anak-anak kita secara tegas bahwa bercanda dalam wilayah ini sama sekali tidak lucu bahkan ia membahayakan aqidah kita. Naudzubillahi min dzalik.

2.       Tidak mengandung unsur menyakiti kepada seseorang
“Janganlah sekali-kali salah seorang kamu mengambil barang saudara (teman)nya secara main-main maupun secara serius. Barangsiapa yang mengambil tongkat saudaranya, maka ia wajib mengendalikannya.”

Cukup sering kita mendengar kekurangan (kalau boleh disebut kekurangan) fisik seseorang menjadi topik canda yang sangat ampuh untuk mengundang tawa dan karenanya menjadi topik favorit ketika bercanda. Misalnya dengan ringannya seseorang nyeletuk pada temannya yang berkulit lebih gelap dari kebanyakan orang “Hei, awas lho jangan keluar malam-malam nanti gak keliatan.” Selain mengandung unsur penghinaan(walaupun yang bersangkutan tidak merasa terhina) ini juga mengandung perendahan terhadap karya cipta Allah. Maka berhati-hatilah ketika bercanda.

Dalam suatu perjalanan malam bersama Rasulullah saw salah seorang diantara mereka ketiduran, sebagian bergerak mendekati sahabat yang ketiduran dengan maksud mengambil tali milik lelaki itu untuk bercanda. Lelaki itu terkejut dan terbangun. Melihat itu Rasulullah saw pun berkata “Tidak halal bagi seorang muslim mengagetkan atau menakut-nakuti saudara semuslim lainnya.”

3.       Tidak mengandung dusta, ghibah, fitnah, atau cabul
“Celakalah orang yang  berbohong untuk membuat manusia tertawa. Sungguh celaka dia, celaka dia, celaka dia.” (HR. Imam Ahmad)

Di dalam musyawarah untuk membahas rencana rekreasi, terjadi kebingungan masalah kendaraan. Lalu nyeletuklah seorang ibu dengan ringannya 
“Naik mobil saya aja yuk…” 
Maka menolehlah para ibu-ibu yang lain penuh harap dan sedikit heran karena selama ini yang mereka tahu si ibu yang nyeletuk tadi memang belum memiliki mobil. Setelah dilihatnya ibu-ibu terpancing maka ia kembali mnukas ringan 
“Tapi mobilnya masih di pabrik..hehehe”

Bohong atau dusta adalah dosa besar. Berdusta itu tetap berdusta baikdalam urusan serius ataupun main-main. Tidak ada bohong putih atau bohong hitam. Semua bohong adalah dosa. Demikian pula dengan ghibah. Dalam kondisi apapun ghibah itu tetap ghibah.

4.       Tidak melampaui batas yang logis (ma’qul)
Di dalam kitab-kitab hadits sangat sedikit ditemukan tentang perilaku canda Rasulullah. Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan beliau, lebih banyak keseriusan dan jarang bercanda. Tentu tidak berarti bahwa beliau sering bermuka masam atau dingin. Bukankah salah seorang sahabat pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah melihat orang yang paling banyak tersenyum selain Rasulullah saw. Bahkan al Miqdad pernah tertawa di sisi Rasulullah saw sampai ia terjungkal ke tanah.
           Bercanda tidak dengan semua orang.
Sebagaimana kita tahu bahwa karakter manusia itu bermacam-macam, ada yang hatinya sangat kuat bahkan kata-kata makian sekasar apapun tidak sanggup menyentuh hatinya tapi sebaliknya ada orang yang memiliki hati yang sangat sensitif. Dan untuk mengenal seseorang itu tentu butuh waktu. Jadi alangkah bijaknya kalau kita tidak langsung mengajak bercanda orang yang baru kita kenal.

Yang kedua, dengan lawan jenis yang bukan mahram. Bercanda berlebihan dengan  non-muhrim akan menimbulkan fitnah. Maka sebaiknya dibatasi kadar dan intensitasnya kalaupun tidak bisa dihindari sama sekali.

Yang ketiga kepada orang yang lebih tua, tentunya sikap yang utama adalah santun dan berlemah lembut. Adapun bila ingin bercanda perlu disesuaikan jenis candaannya agar tidak mengurangi rasa hormat kita.

      Tidak bergaya menyerupai wanita (atau laki-laki)
Seringkali untuk membuat orang tertawa, seorang laki-laki bergaya seperti wanita. Baik pakaian, cara berjalan, atau cara bicaranya. Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan melaknat perempuan yang menyerupai laki-laki”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ad-Darimi, hadist shahih)

Sungguh aneh, saat zaman dahulu di negeri kita ini banci atau bencong menjadi hal yang tabu, namun di masa ini malah menjadi hal yang biasa saja dan malah jadi bahan candaan. Malah gaya banci ini sempat jadi trend di kalangan dunia hiburan Indonesia. Padahal hal tersebut mendapat laknat Allah dan Rasul-Nya.

Demikianlah akhlak seorang muslim yang hanif. Tidaklah melakukan sesuatu melainkan itu sebuah kebaikan, baik dalam bekerja, melihat, mendengar juga dalam berbicara. Sesuai dengan sabda Rasulullah: “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Cuma ada 2 pilihan, berkata yang baik, kalau tidak bisa maka diamlah. 

Para ulama yang shalih menganjurkan agar tidak memperbanyak canda dan tidak berlebihan dengannya. Baik dalam bermuamalah, dalam menuntut ilmu apalagi dalam berdakwah. Karena seseunggunnya hal tersebut dapat menjatuhkan wibawa, menjauhkan diri dari hikmah, menimbulkan kedengkian, mengeraskan hati dan membuat banyak tertawa yang melalaikan diri dari mengingat Allah.

Wallahu 'alam


Senin, 09 Januari 2012

Mereka adalah Pintu Surga yang Paling Tengah

Hari ini mari kita lupakan sejenak status kita sebagai orang tua. Mari kita hayati diri kita sebagai anak. Yang pasti kita  sudah lebih lama menjadi anak daripada sudah menjadi orangtua kan?. Dan sampai detik ini, kira-kira anak macam apakah kita di mata orang tua kita. Anak model apakah kita di hadapan Allah? Apakah kita masuk dalam golongan anak-anak yang berbakti? Yang menjadi penyejuk mata? Yang menjadi kebanggaan dan harapan bapak ibu kita? Ataukah kita justru termasuk dalam golongan anak-anak yang menyia-nyiakan hak orangtua? Yang dilaknat Allah karena justru lebih banyak membuat bapak ibu kita menangis dan terluka?
Kata Ibnu Abbas ra ada 3 ayat Al Quran yang turunnya diiringi oleh 3 ayat yang lain. Berpasang-pasangan. Dan masing-masingnya tidak dapat diterima kecuali ia bersama pasangannya.
Pertama, sholat dan zakat :“ …dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat…” (QS. al Baqarah:43)
Kedua, taat Allah dan taat Rasul :“Katakanlah,’Taat kepada Allah  dan taatlah kepada Rasul…’”(QS. an Nur:54)
Dan yang ketiga, Allah dan ibu bapak :“Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (QS. Luqman:14)
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada ibu-bapakmu.”(QS. an Nisa’:36)
“Dan Rabbmu sudah memerintahkan supaya kamu semua jangan menyembah kecuali kepadaNya, dan supaya berlaku baik terhadap bapak ibumu.”(QS. al Isra’:23)
Maka syukurmu kepada Allah itu hanya bernilai ketika engkau juga bersyukur pada kedua orangtuamu. Bahkan di dua ayat terakhir Allah menyandingkan berbuat baik pada orangtua itu dengan tauhid. Tauhid itu adalah jantungnya dien ini, saudaraku. Ia adalah pondasi dimana diatasnya kita membangun ibadah dan pengabdian kita pada Allah. Yang membedakan amal kita dengan amal orang non muslim. Yang membuat sumbangan 100 rupiah kita mengantar kita ke surga tapi 1 milyar sumbangan mereka tak mengantar kemana-mana. Tauhid. Subhanallah, betapa tingginya kedudukan orangtua kita.
Berbakti kepada orangtua itu tidak mudah. Di setiap fase hidup kita, ada tantangannya sendiri, yang harus kita hadapi demi tercatat sebagai anak yang berbakti. Dulu saat masih berseragam merah putih ( Anda semua tidak langsung setua sekarang kan?), betapa sulit melihat ibu sebagai sosok wanita menyenangkan. Mungkin di benak kita beliau adalah seorang wanita yang menjengkelkan karena menyuruh kita belajar tiap malam, memaksa kita tidur siang padahal di sekolah sudah sepakat akan main di rumah seorang teman, Bapak begitu menakutkan karena selalu memukul pantat kita kalau kita ketinggalan sholat, padahal sholat itu kan capek, 5 kali sehari tiap hari sampai mati, bosan ah.
Saat kita remaja, ternyata urusan bakti ini tidak juga bertambah mudah. Ibu jadi tiba-tiba terasa bawel dan nggak gaul gitu loh…masak aku disuruh pakai baju model emak-emak, masak ketawa cekikikan saja diceramahinya 2 jam. Bapak pun begitu, hari gini anak sma dikasih uang saku seribu? Hape pun tetap saja yang bunyinya cuma bisa tut-tut.
Begitulah saudaraku…
Berbakti pada orang tua itu adalah pekerjaan sepanjang usia. Bahkan hingga kini kita sendiri telah menjadi orangtua, rasanya kita masih merasakan beratnya menjaga diri untuk tetap di atas koridor anak berbakti. Seringkali kita merasa orangtua terlalu jauh memasuki ranah privasi kita sebagai seorang istri dan ibu yang telah memiliki keluarga sendiri. Seringkali kita merasa dituntut berlebihan dalam hal finansial padahal rumah tangga kita belum mapan-mapan amat. Saya percaya, bagi setiap orang, kewajiban berbakti pada orangtua mereka masing-masing memiliki bentuknya sendiri, memiliki tantangannya sendiri. Maka pada kesempatan kali ini mari kita kembali merenungi status ke’anak’an kita. Seperti apa kualitas kita sebagai ‘anak’. Mari kita belajar lagi tentang ilmu menjadi anak.
Semua perbuatan baik kepada orangtua itu namanya birrul walidain, dan birrul walidain ini hukumnya wajib. Seperti apapun kondisinya, baik orangtua kita hidup atau mati, orangtua kita muslim atau musyrik, sepanjang kita masih manusia normal yang lahir dari rahim seorang wanita yang dibuahi oleh sperma laki2 maka tidak bisa tidak kita memiliki kewajiban untuk birrul walidain.
Tahukah engkau wahai saudaraku yang dirahmati Allah, ada banyak keutamaan luar biasa yang akan kau dapatkan jika melaksanakan birrul walidain ini. Diantaranya:
1.       Penebus dosa besar
Ibnu Abbas ra pernah didatangi seorang laki-laki. Laki-laki itu bercerita
“ Ya Ibnu Abbas, aku sudah meminang seorang wanita dan ia menolak pinanganku. Kemudian datang lelaki lain meminangnya dan dia menerimanya. Sungguh sakit hatiku, dan aku benci sekali pada wanita itu hingga aku membunuhnya. Apakah masih ada jalan untukku bertaubat?
Ibnu Abbas menjawab dengan sebuah pertanyaan
“Apakah ibumu masih ada?”
“Tidak lagi, ya Ibnu Abbas”                                                                                             
Kembali Ibnu Abbas menjawab “Bertaubatlah langsung kepada Allah dan dekatkan dirimu kepadaNya sekuat tenagamu.”
Maka pulanglah laki-laki itu. Seorang teman yang kebetulan mendengarkan percakapan itu penasaran dan bertanya pula pada Ibnu Abbas
“Ya Ibnu Abbas, mengapakah kau bertanya tentang ibunya?”
Apa jawab Ibnu Abbas?
“Aku tidak pernah tahu pekerjaan apa yang paling dekat dengan Allah kecuali berbakti kepada ibu.”
Hidup ini kadang membawa kita ke banyak kesalahan dulu sebelum sampai pada kebenaran, banyak saudara kita harus tersesat dulu sebelum menemukan keinsyafan. Dan kadang memang dosa masa lalu itu begitu menghantui. Beruntunglah ketika saat ini kita masih punya orangtua, karena berbuat baik pada orang tua bisa jadi penebus dosa. Maka jangan sia-siakan kesempatan ini, muliakanlah orangtua sekuat tenaga karena selain memang ada pahala bear yang dijanjikan Allah, kita juga berharap semoga dengan bakti kita Allah akan menghapus catatan dosa-dosa kita.
2.       Dipanjangkan umur
“Dari Mua’dz bin Jabal ra, dia berkata: Rasulullah bersabda ‘Barangsiapa yang berbakti kepada ibu bapaknya maka berbahagialah karena Allah akan menambah usianya.” (HR. Abu Yu’la, At Thabarani, Al Ashbahani, dan Al Hakim)
Bertambahnya usia menurut sebagian ulama memang bisa bertambah secara harfiah, artinya memang ia bertambah secara kuantitas. Sebagian juga mengatakan bahwa usia kita akan ditambah barokahnya, bertambah secara kualitas. Jatah usianya tetap 60 tahun misalkan, tetapi karena kita termasuk anak yang berbakti pada orangtua, maka 60 tahun jatah kita itu begitu penuh barokah sehingga setiap tarikan nafasnya, setiap harinya, setiap tahunnya begitu penuh catatan amal shalih. Sampai-sampai mungkin catatan buku kebaikan kita lebih tebal dari dari buku orang yang jatah usianya 100 tahun. Apapun itu, arti dari dipanjangkan umur adalah semata-mata kebaikan. Bukankah waktu hidup kita di dunia ini adalah hal yang sangat berharga? Ia berarti kesempatan untuk menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya. Dan normalnya, makin lama waktu persiapan itu insya Allah makin banyak yang bisa kita siapkan
3.       Dilapangkan rizqi
“Kalau seorang hamba enggan mendoakan orangtuanya maka  rizkinya akan sempit.” (HR. al Hakim dan ad Dailami)
Kesehatan adalah rizki, uang adalah rizki, ilmu adalah rizki, anak-anak adalah rizki, bahkan ibadah adalah rizki. Alangkah nikmatnya hidup kita ketika Allah melapangkan rizki kita. Jasmani yang sehat dan bugar, pasangan yang sholeh sholehah, uang yang barokah, ilmu yang manfaat dan berbuah amal, anak-anak sehat sholih. Insya Allah dimudahkan semua itu untuk kita ketika kita berbakti pada orangtua. It’s simple but sure. Mudah dan jelas balasannya.
4.       Masuk surga dari pintu paling utama
Ketika ibu dari Iyas bin Muawiyah wafat, Iyas meneteskan air mata tanpa meratap, lalu beliau ditanya tentang sebab tangisannya, jawabnya, "Allah bukakan untukku dua pintu masuk surga, sekarang, satu pintu telah ditutup."
Begitulah, orangtua adalah pintu surga, bahkan pintu yang paling tengah di antara pintu-pintu yang lain.
Rasulullah saw bersabda,"Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah, terserah kamu, hendak kamu terlantarkan ia, atau kamu hendak menjaganya." (HR Tirmidzi)
Al-Qadhi berkata," Maksud pintu surga yang paling tengah adalah pintu yang paling bagus dan paling tinggi. Dengan kata lain, sebaik-baik sarana yang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga dan meraih derajat yang tinggi adalah dengan mentaati orangtua dan menjaganya."
Bersyukurlah jika kita masih memiliki orangtua, karena di depan kita ada pintu surga yang lebar menganga.  Terlebih bila orangtua telah berusia lanjut.  Dalam kondisi tak berdaya, atau mungkin sudah pelupa, pikun atau tak mampu lagi merawat dan menjaga dirinya sendiri, persis seperti bayi yang baru lahir.
Rata-rata manusia begitu antusias dan bersuka cita tatkala memandikan bayinya, mencebokinya dan merawatnya dengan wajah ceria.  Berbeda halnya dengan sikapnya terhadap orangtuanya yang kembali menjadi seperti bayi.  Rasa malas, bosan dan kadang kesal seringkali terungkap dalam kata dan perilaku.
Mengapa? Mungkin karena ia hanya berorientasi kepada dunia, si bayi bisa diharapkan nantinya produktif, sedangkan orang yang tua renta, tak lagi diharapkan kontribusinya.
Andai saja kita berorientasi akhirat, sungguh kita akan memperlakukan orangtua kita yang tua renta dengan baik, karena hasil yang kita panen lebih banyak dan lebih kekal.
sungguh terlalu, orang yang mendapatkan orang tuanya berusia lanjut, tapi ia tidak masuk surga, padahal kesempatan begitu mudah baginya.
Nabi Muhammad saw bersabda, "Sungguh celaka... sungguh celaka... sungguh celaka..", lalu dikatakan, "Siapakah itu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Yakni orang yang mendapatkan salah satu orangtuanya, atau kedua orangtuanya berusia lanjut, namun ia tidak masuk surga." (HR Muslim)
Ia tidak masuk surga karena tak berbakti, tidak mentaati perintahnya, tidak berusaha membuat senang hatinya, tidak meringankan kesusahannya, tidak menjaga kata-katanya, dan tidak merawatnya saat mereka tak lagi mampu hidup mandiri. Saatnya berkaca diri, sudahkah layak kita disebut sebagai anak yang berbakti? Sudahkah layak kita memasuki pintu surga yang paling tengah?

5.       Dianugerahi anak-anak yang berbakti
“Berbaktilah kepada bapak ibumu, supaya anak-anakmu berbakti kepadamu…” (HR.At Thabarani dengan sanad hasan)
Sungguh memiliki anak di zaman –maaf- penuh kerusakan seperti sekarang  begitu mengerikan, kalau boleh saya sebut begitu. Bahkan sejak usia dini mereka sudah hidup diantara ancaman racun-racun akhlaq yang luar biasa berbahaya. Cobalah tengok tayangan televisi, bahkan walaupun sudah kita pilihkan tayangan aman dan bergizi seperti shaun the sheep, franklin si kura-kura (saya sebut dua tayangan ini karena memang banyak sekali nilai-nilai kebaikan di dalamnya) racun itu tetap terselip dalam tayangan iklannya. Iklan itu benar-benar tak memiliki sisi positif dalam kacamata saya. Iklan yang buruk jelas buruknya, seronok, kata-kata jorok dari yang jelas-jelas jorok sampai jorok malu-malu, bahkan jorok yang dikemas dalam elegan dan keromantisan. Itu semua iklan jelek. Efeknya jelas jelek. Ada juga iklan yang bagus, penggarapannya bagus, musiknya bagus, pengambilan gambarnya bagus, tapi efeknya tetap jelek. Apa itu? Konsumtif. Jadi memang belum saya temui efek positif iklan. Padahal anak-anak itu adalah imitator yang sangat ulung. Sekali dia mendengar dan melihat maka itu akan terekam di kepalanya yang masih bersih.
Apalagi anak-anak yang telah menginjak masa remaja. Mereka sudah berada di dunianya sendiri yang seolah tak ada jalan untuk kita bisa masuk.
Maka anak-anak yang berbakti, yang tahu cara menghormati kekunoan ibunya, yang tahu cara menghargai kerja keras bapaknya mencari nafkah, yang tahu cara berbeda pendapat tanpa melontarkan kata-kata yang menyakiti, yang membanggakan dan menjaga nama baik orangtuanya, yang mau merawat kita saat kita sudah renta dan pikun, itu sangat mahal. Dan inilah salah satu balasan bagi kita ketika berbakti pada orangtua kita, insya Allah anak-anak kita juga akan menjadi anak yang berbakti.

Intinya apapun yang menyenangkan hati orangtua adalah birrul walidain. Berikut ini saya rincikan beberapa tuntunan nash tentang perbuatan-perbuatan baik pada orangtua:
1.       Memandang orangtua
“Seorang anak yang memandang kepada orangtuanya dengan pandangan cinta akan dicatat Allah seperti amalan orang yang naik haji mabrur.” (HR. ar Rafi’ dan Baihaqi)
Bahkan dalam riwayat yang lain ada yang bertanya kepada Rasulullah bagaimana jika dalam sehari seorang anak memandang orangtuanya 100 kali bahkan 350 kali dalam riwayat yang lain lagi, dan Rasulullah menjawab ‘hanya Allah yang bisa menghitungnya’. Begitulah saudaraku, alangkah bodoh kita kalau sampai ditakdirkan masih mempunyai orangtua yang masih hidup bahkan tinggal tak terlalu jauh dengan kita tapi kita melewatkan amalan ringan namun dahsyat seperti ini. Hanya memandang dan pahala sebesar haji mabrur di tangan kita.
2.       Lemah lembut kepada orangtua
“Dan ucapkanlah kepada bapak ibumu perkataan yang mulia (qaulan kariima) dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang … “ (QS. al Isra’:23-24)
Ingat saudaraku, lemah lembut itu mencakup 2 hal. Pilihan kata dan intonasi. Kata-kata yang baik ketika diucapkan dengan intonasi menyentak-nyentak tentu bukan lemah lembut, demikian pula sebaliknya kata-kata kasar walaupun diucapkan dengan intonasi yang lembut tidak lembut juga jadinya.
Abul Haddaj pernah agak bingung  qaulan kariima ini, beliau bertanya pada Sa’id bin Al Musayyib “Bagaimana persisnya qaulan kariima itu?” 
Dan tahukah saudaraku apa jawaban Sa’id? “Qaulan kariima itu kira-kira seperti perkataan seorang budak yang bersalah di hadapan majikannya yang kejam.
3.       Berdiri menyambut orangtua
Sayyidah Fatimah ketika Rasulullah datang mengunjungi selalu segera berdiri menyambut dan menyongsong ayahandanya. Saya pribadi menerjemahkan hal ini dengan luas. Inti dari berdiri itu adalah penghormatan maka apapun yang mengindikasikan penghormatan serupa patut kita lakukan kepada orangtua. Termasuk mungkin tidak duduk sembarangan di depan orangtua, tidak melakukan gerakan apapun yang tidak menunjukkan penghormatan seperti misalkan menunjuk, mengibaskan tangan, dan lain sebagainya. Saya yakin kita –apalagi kita sendirijuga adalah orangtua- sangat paham apa-apa yang tidak pantas kita lakukan ketikaorangtua berada di dekat kita
4.       Memberi nafkah
Dari Jabir ra: ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan berkata ‘Ya Rasulullah, saya punya anak dan harta, dan ayahku ingin menghambur-hamburkan uang dan harta saya itu.’ Maka jawab Rasulullah saw ‘Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu’ “ (HR.Ibnu Majah)
Mundur sedikit ke belakang, laki-laki itu awalnya mendatangi Rasulullah dan mengadukan ayahnya yang terus-terusan meminta harta. Maka Rasulullah menyuruhnya untuk membawa sang ayah ke hadapan Rasulullah. Selagi sang ayah dijemput, malaikat Jibri mendatangi Rasulullah dan menyampaikan pesan Allah swt “Ya Muhammad, Allah swt enyampaikan salam kepadamu dan berpesan kepadamu kalau orangtua itu datang engkau harus menanyakan apa-apa yang dikatakan hatinya tapi tak didengar telinganya (maksudnya adalah batinnya yang tak pernah diucapkannya). Ketika sang ayah tiba Rasulullah bertanya “ Mengapa anakmu mengadukanmu? Benarkah engkau inginengambil uangnya?
Sang ayah menjawab bahwa itu untuk memenuhi keperluannya. Rasulullah pun memintanya menceritakan kata hati yang selama ini tak pernah terucap lisannya. Sang ayah tak mau pada awalnya tetapi Rasulullah terus mendesak. Maka dia berkata “ Baiklah ya Rasulullah, sesungguhnya saya sering mengucapkan dalam hati kata-kata seprti ini kepadanya ‘Aku mengasuhmu sejak kecil, kau reguk puas semua jerih payahku. Saat kau sakit di malam hari sungguh aku gelisah dan sedih, tak mampu memejamkan mata sedikitpun. Airmataku berlinang-linang cemas takut engkau disambar maut padahal aku tahu ajal itu memang sesuatu yang pasti. Dan sekarang, setelah engkau dewasa, tercapai semua yang engkau cita-citakan kau balas aku dengan kekerasan dan kekasaran seolah-olah engkaulah yang member nikmat. Kau perlakukan aku seperti tetangga jauhmu, kau menyalahkan dan membentakku seolah engkaulah yang paling benar.”
Belum selesai kata-kata sang ayah Rasulullah lalu mendekati sang anak, memegang ujung baju pada lehernya dan berkata “Engkau dan hartamu milik ayahmu.”
Kata hati itu adalah yang paling jujur. Di mulut, tak ada seorang ibu atau ayahpun yang sanggup mengucapkan kata-kata seperti itu pada putra-putrinya karena sungguh kita membesarkan anak-anak tanpa berharap balasan apapun. Hanya terkadang siapakah yang bisa mengatur kata batin? Kadang ia bersuara sendiri. Maka mungkin kita patut introspeksi kira-kira batinan seperti apa yang ada di hati ibu bapak kita terhadap kita?
5.       Mendoakan
“… dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh rasa kasih sayang dan katakanlah : “Wahai Rabbku, kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya telah mendidik aku pada waktu kecil.” (QS. al Isra’: 23-24)
Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Sofyan ra berapa kali seorang anak mendoakan ibu-bapaknya?
Sofyan menjawab : ‘alangkah baiknya engkau mendoakan kedua orangtuamu setiap selesai membaca syahadat di dalam sholat’
Sebagian tabi’in mengatakan, siapa yang mendoakan ibu-bapaknya 5 kali sehari semalam maka ia telah menunaikan kewajiban kepada keduanya. Sholat adalah manifestasi syukur kepada Allah dan alangkah idealnya ketika setiap syukur kepada Allah diikuti syukur kepada bapak ibu.
Sebagai tambahan, kewajiban birrul walidain tidak berhenti karena orangtua kita meninggal, justru di alam barzakh orangtua lebih membutuhkan kita dibanding masa hidupnya di dunia. Bentuk bakti kita kepada orangtua yang telah mendahului ke alam barzakh adalah mendoakan, memohonkan ampunan, berziarah ke makamnya, dan meneruskan hubungan baik dengan kawan ibu bapak.
“Dari Abu Burdah ra, saya mendengar Abdullah bin Umar ra berkata bahwa Rasulullah berkata kepadanya ‘Siapa yang ingin berhubungan dengan ayahnya yang telah wafat hendaklah dia menghubungi kenalan atau saudara-saudara ayahnya, ayahnya meninggal.”(HR. Abdurrazzaq dan Ibnu Hibban)