menuju-Mu

Rabbana, diriku hanyalah setitik debu di hadapan keagunganMu.
Maka jagalah hati ini,
dari terlihat besar di mata manusia
namun kecil di mataMu
dari terasa baik di mata manusia
namun hina di mataMu
dari merasa benar di mata manusia
namun salah di mataMu
Jadikanlah aku lebih baik dari persangkaan diri dan orang lain

Senin, 09 April 2012

7 Jurus Maut Siasat Setan


Allah berfirman dalam Al- Qur’an:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً وَلَوْ شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

“Dan demikianlah Aku jadikan bagi setiap Nabi itu (pasti) ada musuhnya berupa Setan manusia dan Jin. Mereka saling memberi inspirasi sebagian kepada sebahagiannya dengan reka- reka rayuan yang mengandung tipu daya” (QS. Al-An’am 112)
Imam Ghozali dalam salah satu kitabnya berjudul “Minhaajul Aabidiin” yang telah di syarahkan oleh Syekh Ikhsan Al- Jampesy dengan judul ‘Siroojut Thoolibin”, pada juz awal/312 mengungkapkan tentang adanya 7 (tujuh) jurus maut Setan bin Iblis laknatullaoh dalam menggoda anak manusia tanpa kecuali bahkan juga para cerdik pandai dan para ulamanya tak lepas dari rayuan gombal dan serangan jurus maut mereka sehingga banyak diantara mereka terlena dan tergelincir terkena godaannya.
7 jurus itu dilancarkan setan susul menyusul tanpa henti dan bergelombang secara simultan bak air bah menggempur benteng pertahanan hati manusia, dan siapapun yang lengah akan jebol pertahanannya, tak peduli dia seorang santri atau kyai, terkecuali orang- orang yang berlindung dan mendapat perlindungan Sang Maha Perkasa, Allah SWT.
Oleh karena bahaya dan licik serta halusnya rayuan dan godaan itu, sangat perlu bagi kita untuk memahami dan meng- identifikasi cara- cara mereka agar kita waspada bila serangan itu datang seraya memohon perlindungan kepada Allah SWT.
1Jurus Pertama: Apa untungnya beribadah?
"Ada sekelompok orang yang beribadah kepada Allah karena menghendaki keuntungan. Itu ibadahnya pedagang. Ada lagi sekelompok orang yang beribadah kepada Allah karena takut akan siksa. Itu ibadahnya budak. Kemudian, ada sekelompok orang beribadah kepada Allah semata-mata karena cinta dan wujud syukur kepada-Nya. Itulah ibadah orang merdeka."
 

Terkadang kita mengalami saat-saat ujian kesengsaraan itu datang bertubi-tubi. Baru saja ditinggal suami meninggal, ternyata divonis menderita penyakit ganas, lalu anak ditangkap karena tersangkut kasus narkoba. Ujian kesengsaraan tidak jarang membawa kita makin dekat dengan Allah tapi tidak jarang pula kesengsaraan yang silih berganti menguras kesabaran kita. 
Di sini setan mulai melancarkan serangannya. Ia membuat ibadah kita seolah tiada gunanya, ia membuat kita berprasangka dan bertanya-tanya mengapa sedemikian beratnya Allah memperlakukanku. Apa dosaku? Sementara tetanggaku sebelah rumah yang jelas-jelas tidak pernah sholat, yang jelas-jelas rentenir sehat wal afiat dan anak-anaknya juara kelas di sekolahnya. Maka perlahan-lahan kualitas ibadah kita mulai terpengaruh. Yang tadinya sholat di awal waktu, jadi sering terlambat. Yang tadinya membaca surat2 panjang jadi merasa cukup dengan yang pendek-pendek saja. Pelan tapi pasti akhirnya mungkin malah kita jadi meninggalkan sholat. Naudzubillah.

Setan akan membisiki jiwa manusia agar ia tak perlu bersusah payah berbakti dan beribadah kepada Allah. Bukankah banyak orang yang tak beribadah pun dapat hidup senang dengan kekayaan melimpah, sebaliknya banyak para ahli ibadah namun hidup mereka tetap saja susah? Maka banyaklah manusia goyah imannya mendapat serangan seperti ini, kecuali orang- orang yang telah mendapatkan hidayah Allah.
Meninggalkan ibadah karena merasa tidak ada untungnya mungkin terasa jauh dari bayangan kita yang insya Allah memahami bahwa ibadah kita bukan untuk mencari keuntungan duniawi. Tetapi yang sering kita lakukan biasanya adalah melakukan ibadah sekedarnya saja, cukup terpenuhi rukun-rukunnya saja. Kita kurang semangat untuk menyempurnakan ibadah kita dengan sunnah-sunnahnya. Salah satu sebabnya bisa jadi karena kita belum tahu apa keuntungannya.

Rata-rata para ibu pasti hafal hampir di luar kepala berapa harga-harga barang yang murah. Di supermarket A harga minyak goreng lebih murah dari supermarket B, sebaliknya harga makanan ringan lebih murah di supermarket C. Berharap akan ada sisa uang belanja yang bisa kita simpan untuk membeli baju impian kita misalkan kita jadi rela berjibaku mencari dimana menjual dengan harga termurah. Mau sedikit capek begini tentu karena kita merasa akan ada sesuatu yang bisa kita dapatkan.
Nah, mengapa tak kita lakukan rumus yang sama untuk ibadah harian kita? Tahu berapa harga sholat, puasa, sedekah dan ibadah-ibadah lainnya yang kita kerjakan atau kita lewatkan? Tahu berapa harga sunnah-sunnah ibadah yang kita malas melakukannya karena toh tidak dikerjakan juga ibadahnya sah, kan cuma sunnah? Tidak dikerjakan toh tidak dosa, kan cuma sunnah?
Sholat di masjid apa untungnya daripada di rumah? Berjamaah apa untungnya daripada sendiri ? Apa keuntungan sholat sunnah ? Sedekah ? Puasa Senin Kamis dan sunnah-sunnah yang dianjurkan lainnya? Sedikit bocoran saja dari tulisan yang saya kutip dari Fadhilah A’mal.
“Dua rakaat shalat dengan bersiwak lebih utama daripada tujuh puluh rakaat tanpa bersiwak”
Bayangkan, sampai hal yang sepele seperti bersiwak (sikat gigi) dibahas dan sangat berpengaruh tujuh puluh kali bagi shalat kita.
Dan tahukah kalian orang-orang kaya di Indonesia misalnya Bakrie, Surya Paloh dan pengusaha-pengusaha lainnya tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ibadah yang satu ini.
Ibadah yang hanya dilakukan kurang dari 10 menit, satu lagi bocoran untuk kita semua tentang keuntungan yang kita dapat jika melakukan sunnah :
“Dua rakaat shalat tahajjud adalah lebih berharga daripada seluruh kekayaan di dunia ini. Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan mewajibkan kepada mereka”
Hanya dengan shalat tahajjud saja, kita lebih kaya dan terhormat dari pengusaha-pengusaha di Indonesia bahkan lebih berharga dari semua kekayaan di dunia ini, saya yakin ibu-ibu yang paling cermat hitungannya sekalipun tidak dapat menuliskan berapa keuntungannya di dalam buku catatan belanjanya jika melakukan ibadah sunnah ini karena banyaknya, saya kira tidak ada satu dari kita yang tau berapa rupiah kah seluruh kekayaan di dunia ini. 

Maka kalau setan telah mengiming-imingi kita dengan jurus pertamanya ini, jangan ragu jawablah dengan mengingat-ingat kembali bahwa sungguh ibadah bukan untuk mencari keuntungan duniawi. Justru kita takut kalau-kalau Allah membalas semua amal shalih kita di dunia saja dan tidak menyisakan pahala sedikitpun yang bisa kita tuai di akhirat nanti.
Jurus Kedua: menunda aktivitas
Setelah mundur sejenak, setanpun segera menggebrak dengan jurus kedua, setan berkata: “Oke deh kamu beribadah untuk bekal akhirat, tapi masih ada banyak waktu untuk itu. Kamu masih sehat, masih berapa sih usiamu? Tetanggamu yang sudah hamper 75 tahun saja masih kuat kok beribadah.”
Atau “ Jangan terlalu menyiksa diri, Allah kan juga tidak suka kalau kau memberatkan dirimu sendiri. Sudah besok saja sholat malamnya, malam ini kamu kan capek sekali habis membantu tetangga yang hajatan, anggap saja pahala sholat malamnya sudah kamu tutup dengan pahala membantu tetangga.”
Maka banyak nian anak manusia punya keinginan untuk beribadah, namun hanya sekedar keinginan. Karena bahaya dari menunda itu bukan tertundanya amal dari sekarang menjadi besok, tapi ia akan menjadi candu yang membuat kita akan selalu menunda dan menunda. Ketika kita membuka satu pintu penundaan maka akan terbuka pintu-pintu penundaan yang lain. Dia pikir waktu itu berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan amat cepatnya, sehingga tiba- tiba ia sakit, ada halangan atau ajalpun menjemput sebelum sempat berbuat apa- apa…
Namun seorang yang mendapatkan tuntunan ilahi akan segera menyanggah rayuan gombal ini dan dengan tegas ia menjawab: “ Umurku tidak berada ditanganku. Siapa yang tahu dan dapat menjamin bahwa esok aku masih dapat menghirup udara kehidupan? Maka bila aku tunda ibadahku hari ini siapa yang dapat menjamin bahwa aku bisa melakukannya esok hari? Bukankah tiap saat dan tiap waktu dapat bernilai ibadah? Jika aku tunda aktivitas ibadahku hari ini maka berarti aku akan rugi hari ini karena besok ada nilai ibadah tersendiri yang telah disediakan Allah kepada para hambanya yang ingin meraihnya”.
Cukuplah perkataan indah dari Hasan Al Bashri “Sesungguhnya engkau hanyalah sekumpulan hari. Ketika berlalu sehari berlalu pula sebagian dirimu.”

Ada beberapa hal yang biasanya menjadikan seseorang menunda-nunda aktivitas :

Pertama, Thulul Amal (merasa umur masih panjang)
Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Barri, jilid XI, menjelaskan, bahwa jika penyakit thulul amal ini menjangkiti manusia, maka tidak ayal lagi akan membawa indikisasi yang lebih serius, misalnya mulai mendekati larangan Allah, enggan bertobat apalagi dengan ditundanya azab Allah bagi umat Muhammad (berbeda dengan umat-umat sebelumnya) akan semakin mengenjoykan orang-orang yang terjangkit penyakit ini. Akhirnya lupa alam akhirat dan hatinya menjadi keras. Sementara hati dapat menjadi lunak dan bersih hanya dengan mengingat-ingat kematian, kehidupan di alam barzakh, pahala serta siksa.
Tepat sekali sabda Rasullulah Saw, “Bahwa orang (dari umatku) yang paling cerdas adalah yang mempersiapkan hidupnya untuk matinya.” Artinya, ketika kita melakukan setiap perbuatan hendaklah selalu ingat, JANGAN-JANGAN INI KESEMPATANKU YANG TERAKHIR. Kita kuliah, kita bekerja, kita berbakti pada orang-tua, kita sholat, kita berdakwah dan lain-lain mesti harus ingat prinsip ini. Jangan sekali-kali menyepelekan waktu barang sedetik pun, semenit pun, apalagi sampai sejam, sehari, seminggu! Ingat, seorang pelari 100 m, mereka sangat menghargai waktu 1 detik. Juga seorang pilot pesawat terbang adalah orang yang menghargai waktu 1 menit. Itu semua, karena kematian atau ajal akan datang kapan saja dan dimana saja! Allah SWT akan memilih secara acak kepada siapa ajal akan diberikan.

Kedua, lebih percaya pada dugaan daripada realitas.
Jika kita memiliki produktivitas dan percaya diri yang tinggi amatlah bagus. Namun jika produktivitas dan PD yang tinggi tersebut kemudian melahirkan ditundanya aktivitas yang mestinya segera kita lakukan, berarti ada yang keliru pada diri kita. Sejelas apapun plan mapping yang kita buat, serinci apapun semua kita hitung. Tetap ada wilayah abu-abu dimana di situ qodho’ Allah akan berbuat.

Ketiga, Menjadikan orang lain sebagai tolak ukur
Artinya, menyangka bahwa kebahagiaan, keberhasilan atau kecelakaan dirinya ditentukan oleh orang lain. Contohnya, perkataan, “Si anu hari ini tidak baca al-Qur’an, kalo gitu saya juga tidak baca dong…” atau perkataan lain, “Alhamdullilah, si anu ternyata belum mengerjakan . Padahal dia kan… termasuk orang paling rajin. Dia aja yang rajin masih belum, saya juga nanti saja ah mengerjakannya…” Jelas, sikap demikian sesungguhnya cerminan dari orang yang tidak mandiri! Semestinya kita sebagai kaum muslim sadar akan firman Allah SWT:

“Tidaklah suatu jiwa menanggung dosa orang lain…” (QS.al-An’âm [6]: 164)

“Setiap orang bertanggung jawab terhadap apa-apa yang ia lakukan…” (QS. ath-Thûr [52]: 21).

Dari ayat diatas jelas, bahwa Allah memberitahukan pada kita kalau melakukan kebaikan atau melakukan kemaksiatan yang akan dihisab adalah diri kita sendiri atas dasar perbuatan sendiri. Bila demikian keadaannya maka siapapun yang menyadari hal ini tidak akan lagi menggantungkan perbuatannya kepada “melakukan atau tidaknya orang lain”.

Karenanya, yang musti dinyatakan dalam diri kita, “Orang lain shalih atau tidak, saya harus shalih!” “Orang lain hari ini membaca al-Qur’an atau tidak, saya harus membaca!” “Orang lain berdakwah atau tidak, saya harus tetap berdakwah!”

Keempat, malas
Malas adalah musuh bagi seorang muslim, karena sikap malas berasal dari syaithan. Sebagaimana Amerika dan Israel adalah musuh kita, karena telah membantai sekian juta kaum muslim!
Oleh karena itu, ada 2 langkah yang perlu dilakukan kita untuk menghancurkan rasa malas tersebut:
1. Mengesampingkan rasa malas tersebut, lalu bersegera keras untuk melakukan aktivitas yang harus dilakukan.
2. Berlindung kepada Allah SWT dari sikap malas. 
Bagaimana caranya? Caranya seperti ketika kita dikejar-kejar anjing. Pertama kita lari, kok…masih ngejar, kita berhenti, kemudian cari batu. Sudah dilempar batu tapi kok…masih ngejar juga, terakhir kita panggil pemiliknya. Yakin deh…ketika pemiliknya datang, pasti anjingnya manut (berhenti). Sebagaimana ketika kita mengusir setan. Panggil pemiliknya atau yang menciptakannya, yaitu Allah SWT. Bacakan doa-doa yang intinya kita berlindung dari godaan setan. Dengan pertolongan si pemilik syaithan (Allah SWT), syaithan-nya pasti lari.

Kelima, ketidaktahuan tentang apa yang harus dikerjakan
Barangkali orang yang menunda aktivitas –padahal waktunya juga luang– adalah orang-orang yang dikarenakan tidak tahu apa yang seharusnya dikerjakan. Yang pada akhirnya, bersikap bingung, kemudian melamun, hingga tidur-tidur-an sampe tidur beneran.

Jika ini yang menyebabkan tertundanya aktivitas, maka solusi yang baik adalah melakukan perencanaan.Halah, wong cuma ibu rumahtangga kok sampai bikin perencanaan sih? Ingat, kata pepatah “Kegagalan dalam merencanakan berarti berbanding lurus dengan merencanakan kegagalan.” Mari kita belajar merencanakan kegiatan kita. Mulai dari menentukan menu esok hari, terbukti dari hal kecil ini saja kita banyak membuang waktu. Seorang ibu yang belum tahu hari itu akan masak apa jadi sering bengong dan bingung di depan gerobak tukang sayur. Lihat bayam segar ah bikin sayur bayam ah, tapi kok Bu itu pegang rebung kok kayaknya enak banget bikin lodeh. Sampai di dapur, oh iya daun salamnya gak ada. Dalam hal kecil saja tidak matangnya perencanaan membuat banyak kesulitan, apalagi dalam hal yang lebih serius dan mengikutsertakan banyak orang. Apalagi dalam hal seserius mempersiapkan bekal kematian?

Kehidupan Rasullullah Saw, bila kita lihat sirah-nya, hidupnya penuh dengan perencanaan. Misalnya, bagaimana ketika beliau akan ber-hijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat itu sarat dengan perencanaan. Sampe-sampe siapa yang nanti harus dijadikan “peran” pengganti sebagai Rasul saat tidur pun, sudah direncanakan matang-matang, yaitu, sahabatnya Ali ibn Thalib r.a.

Keenam, aktivitas yang melebihi kapasitas diri sendiri
Keinginan untuk bisa melakukan aktivitas semuanya pada waktu yang berbarengan, memang ada dan menimpa setiap orang. Namun, bijak kiranya suatu saat kita perlu mengeremnya ketika itu diluar kemampuan kita. Jika tidak, semuanya akan serba tanggung, serba setengah-setengah alias tidak maximal. Selain karena faktor keterbatasan diri sendiri, waktu yang diperuntukkan Allah bagi manusia juga amatlah sedikit. Bayangkan, sehari hanya 24 jam. Tidak lebih. Padahal kewajiban yang harus ditunaikan demikian banyak. Betul kata pepatah, “al waqthu qashir wal amal katsir” (waktu amatlah sedikit, namun pekerjaan sangat banyak).

Maka dari itu satu-satunya cara yang harus ditempuh adalah menetapkan skala prioritas. Tentunya bagi seorang muslim yang taat, skala prioritas musti dikembalikan kepada skala-syariat. Yakni, apakah itu wajib, sunnah (mandub), mubah (boleh), makruh ataukah haram. Dengan skala prioritas ini, insya allah kita akan terjaga dari perkara-perkara yang sia-sia, juga waktu yang setiap detik, menit selalu berganti tidak akan terbuang cuma-cuma. Nabi Saw, mengingatkan:

“Diantara baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apapun yang tidak berguna baginya.” [HR. at-Tirmidzi].

Dan salah satu ciri orang mukmin adalah meninggalkan laghwu, yaitu perkara yang sia-sia, seperti disebut pada awal-awal surat al-Mukminun.

Inilah sekilas landasan yang dapat dijadikan pegangan dalam menghilangkan penyakit menunda-nunda aktivitas kebaikan. Hanya saja, kuncinya tetap ada pada kita sendiri.

Jurus Ketiga: Lakukan aktivitas secepatnya tanpa perlu tahu ilmunya!
“Oh begitu”. Kata Iblis. “Kalian menginginkan beribadah sekarang, O.K!. Silahkan, silahkan… ayo kerjakan secepatnya, tanpa perlu tahu kaifiyat dan tata caranya yang benar. Lakukan saja sebanyak- banyak nya. Soal ilmu dan kaifiyatnya, itu soal nanti…”

Maka banyaklah manusia beribadah ngawur. Sholat ngebut, thuma’ninahnya ditinggal yang penting dapat rakaat banyak. Membaca Al Quran ngebut, waqof ditabrak, makhraj apalagi, yang penting target 1 juz sehari kena.Kalau diingatkan, mereka marah- marah, katanya Allah tidak akan mempersulit kita. Memang, agama itu mudah namun jangan dipermudah
Kecuali hamba- hamba Allah yang mendapat taufiqNya ia akan berkata: “ Bukankah Rasulullah pernah bersabda bawa: Qoliilu ‘amal ma’at tamaam, khoirun min katsiirihii ma’an nuqshoon?” Amal ibadah yang sedikit namun sempurna adalah lebih baik daripada banyak amal dengan banyak kekurangan?” Capek rasanya kalau kita bekerja namun imbalannya tak seberapa apalagi bila ternyata hanya menyebabkan murka Nya?”
Jurus Keempat: memamerkan kehebatan amaliyahnya.
Baiklah, kita sekarang telah berilmu dan beribadah, tapi setanpun tak pernah kehilangan akal. Pada langkah keempat setanpun merasuki jiwa manusia BER- ILMU YANG SEDANG MELAKUKAN IBADAH itu, dan membisiki jiwa mereka dengan pujian: “ Lihat, lihat semua orang memperhatikan kalian… kalian sungguh hebat dan berilmu dalam beribadah. Tunjukkan kepada mereka ibadah kalian itu.”
Orang- orang yang tergelincir terkena godaan setan segera timbul riya’ nya. Buktinya sewaktu sholat d irumah dia ngebut bahkan tanpa dzikir ba’da sholat, namun saat sholat di mesjid sangat kelihatan khusyu’nya dan dzikirnya pun sangat panjang dan keras agar didengar orang. Padahal khusyu’ dan dzikirnya itu sekedar pamer, agar ia dipuji sebagai orang yang khusyu’ dalam sholat.
Namun manusia manusia yang beruntung akan menolaknya dengan mengatakan: “ Penglihatan Allah sudah cukup bagiku, karena Dialah yang akan membayarkan pahalaNya kepadaku, bukan yang lain. Manusia adalah makhluk tak berdaya, aku tak butuh penghargaan mereka…”
Jurus Kelima: Merasa dirinya hebat dan paling pantas masuk surga.
Mental dengan jurusnya, setan masuk dengan jurus lain. Dengan berbisik Iblis berkata kedalam hati si Abid: “ Yah kuakui kau memang hebat… Sudah rajin ibadah, paham ilmunya, ikhlas pula. Ya..ya.. kaulah yang terbaik di negeri ini, yang paling ikhlas dan paling alim, yang paling pantas masuk sorga. Kalau orang macam tetanggamu tuh mana berhak masuk surga, infaq aja dipamer-pamerin. Padahal besarnya tak sampai sepersepuluh infaq yang kau keluarkan sembunyi-sembunyi.”
Maka muncullah orang- orang yang UJUB, yang merasa dirinya paling hebat, paling alim, paling benar, paling suci, paling unggul dibanding orang lain, paling cocok masuk surga. Iapun tak segan untuk mengecilkan dan merendahkan bahkan menghina orang lain. Dalam bahasa psychology mereka disebut mengalami MEGALOMANIA complex, suatu penyakit jiwa yang pernah dialami oleh Fir’aun, Namrudz, Hitler, Mussolini dan lainnya.
Pada tahapan ini mulai banyak para ustadz, guru ngaji, ulama dan kiyai terjebak dalam rayuan setan berupa ibadah riya’ dan ujub tanpa terasa, bahkan ia masuk kedalam lumpur jebakan yang lebih dalam yaitu hasud dan dengki. Tatkala ia melihat guru ngaji lain lebih berhasil, kyai lain lebih banyak muridnya dan melihat ulama’ lain lebih sukses mengelola pesantrennya, alih- alih bersyukur dan ikut merasa senang atas sukses teman- temannya yang berarti juga suksesnya da’wah Islam, karena bujukan dan rayuan Setan ia menjadi penghasut, penfitnah bahkan penghujat paling aktif bagi teman- teman seprofesinya itu… Na’uudzu billaahi mindzaalik.
Kecuali orang- orang yang mendapat perlindungan Allah, dia akan sanggup menolaknya dan berkata: “ Innanii hadaanii Robbii ilaa shiroothim mustaqiim. Cukuplah Allah yang menggerakkan hatiku dan membalas amalku. Dia pula yang menyebabkan aku tergerak hati untuk melangkahkan kaki beribadah. Tanpa petunjuk Nya mana mungkin aku bisa melakukan segala kebaikan in? Maka apakah hebatnya aku, karena aku hanyalah digerakkan oleh kekuatan Nya, karena tiada daya melakukan perbuatan baik dan tidak ada kekuatan untuk menjauhi keburukan kecuali hanya dengan pertolongan Allah Yang Maha Agung. Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil adhiimi”.
Jurus Ke-enam: Seorang wali tak perlu lagi ber- ibadah!
Gagal maning..gagal maning, kata setan.
Simaklah talbis syetan yang pernah dihadapi oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Talbis itu begitu halus dan dikemas dengan kebaikan serta disampaikan dengan cara elegan. Kalau kita tidak jeli dan tidak punya pemahaman agama yang mendalam, pasti kita akan terjebak dan terjerembab dalam perangkat syetan tersebut.
Dalam kitab Mashaibul Insan diceritakan, “Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata, ‘Dalam suatu perjalanan, aku merasakan cuaca yang sangat panas, hampir saja aku mati kehausan. Lalu datanglah awan menaungiku, dan angin terasa datang bergerak menghembus tubuhku, dan ludah pun terasa mengalir di mulutku.
Di saat yang menyenangkan itu, tiba-tiba aku mendengar suara, “Wahai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu”. Maka akun menyahut, ‘Engkau Allah ? Tiada Tuhan selain Engkau”. Lalu ia memanggilku lagi, “wahai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu. Aku halalkan apa yang telah diharamkan”. Aku segera membentaknya, “Engkau pendusta, engkau adalah syetan.”
Awan hitam itu pun berhamburan. Lalu aku mendengar suara di belakangku dengan nada bergera, “Wahai Abdul Qadir, kamu telah selamat dari tipudayaku, karena pemahaman agamamu yang dalam. Sebelumnya aku telah mengelincirkan 70 orang dengan cara ini.”
Ada yang bertanya kepada Syekh Abdul Qadir, “Bagaimana kamu mengetahui bahwa adalah syetan”? Abdul Qadir menjawab, “ Barang siapa yang berkata, ‘ telah aku halalkan bagimu ini dan itu, maka engkau dapat memastikan bahwa ia adalah syetan. Karena sepeninggalkan Rasulullah, tidak ada lagi yang berhak menghalalkan apa yang telah diharamkan.” (Musibah Akibat Tipuan Syetan : 145-146).
Sungguh cerita di atas merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Jangan mudah terpedaya oleh bujukrayu dan tipudaya syetan. Baru shalat malam beberapa kali saja, sudah mengaku bahwa malaikat jibril telah turun kepadanya. Atau shalat lima waktunya belum genap, kemudian mengaku mendapatkan wahyu saat menjalani  semedi yang diperintahkan gurunya disebuah gua. Di sinilah pentingnya pemahaman agama yang mendalam agar kita punya parameter dan filter yang kuat untuk menghadapi tipudaya syetan.
Siasat ini sudah begitu banyak menelan korban dan menggelincirkan para ulama besar. Mereka tanpa sadar termakan oleh tipu daya setan ini. Setan berbisik: “ Ooo…kamu seorang ahli ibadah yang berilmu. Kini anda telah sampai ketingkat ikhlas dalam beribadah. Riya’ dan ujub sudah berhasil kau jauhi, maka kini engkau telah begitu dekat dengan tuhanmu. Engkau kini seorang muqorrobin, seorang aulia Allah, seseorang yang pasti dicintai Allah. Maka kini engkau telah memasuki tahapan dan dunia wali yang tak perlu lagi bersentuhan dengan amaliyah- amaliyah lahir. Engkau kini bagai samudera yang dapat menyerap segala kotoran dari sungai sekotor apapun. Maka kini maksiyat tak akan mempengaruhi samudera kebersihan hatimu. Hukum syari’at itu hanya berlaku bagi orang AWAM, bukan untuk orang KHOS seperti kamu, hukum syari’at sudah tidak diperlukan lagi untuk orang sederajat kamu karena tujuan syari’at adalah agar manusia mengingat Tuhan, dan kau kini sudah selalu mengingatnya, jadi buat apa syari’at bagimu?……”.
Pada tahapan ini banyaklah para orang pinter yang akhirnya menjadi keblinger. Para malamatiyah palsu yang sesat menyesatkan, yang akhirnya memisahkan antara SYARI’AT, THORIQOT dan HAQIQOT, yang seharusnya seiring sejalan, berjalin dan berkelindan yang merupakan sebuah kesatuan tak terpisahkan, sebagai perwujudan dan pengejawantahan Iman, Islam, dan Ihsan.
Namun orang- orang yang mendapatkan petunjuk Allah dapat selamat dari jurus berbahaya ini dan mampu menjawab demikian: “ Bukankah Nabi Muhammad adalah makhluq terkasih dari Allah, namun beliau sholat malam sampai lebam- lebam kakinya? Bukankah para sahabat Nabi adalah manusia- manusia terbaik didikan baginda Rasulullah, namun mereka juga berjuang menegakkan dan menjalankan syari’at dengan mempertaruhkan harta bahkan jiwa dan raganya? Bukankah Allah telah berfirman: “ Sesungguhnya para Wali Allah itu mereka tak pernah merasa takut dan khawatir. Yakni mereka orang- orang beriman dan mereka semuanya bertaqwa. (Q.S.Yunus 62- 63). Maka apalah aku ini jika dibanding dengan mereka sejatinya para wali- wali Allah itu?”
Maka Setanpun surut sejenak untuk kemudian maju dengan jurus maut andalannya.
Jurus Ketujuh: Serahkan pada takdir, tak ada gunanya ber- ikhtiyar.
Kata Setan: “ Ya sudahlah, kau adalah orang berilmu, pasti tahu sabda Nabi tentang takdir. Betapapun kau rajin beribadah sehingga jarakmu dengan surga tinggal sejengkal, kalau takdirmu ke neraka maka tetaplah kamu akan masuk neraka. Sebaliknya jika kau bermaksiyat sampai jarakmu dengan neraka tinggal sejengkal, namun bila takdirmu ke surga, pastilah kau akan masuk ke surga. Bukan begitu? Jadi buat apa kalian ber capek- capek beribadah kepada Allah?”.
Orang yang mendapat taufik dari Allah akan berkata untuk menjawab rayuan gombal setan tersebut: “Takdir itu adalah urusan Allah dan hak prerogatif Allah semata, bukan urusan makhluk seperti aku ini. Tugasku sebagai seorang hamba yang baik adalah berikhtiar dan melakukan usaha dengan sungguh- sungguh. Lagipula aku ingin mendapat ridho Rabb ku yang menciptakan aku. Maka seandainya aku harus masuk neraka dalam keadaan aku berbakti kepada Nya, itu lebih aku sukai dari aku harus masuk kedalamnya dalam keadaan mendurhakai Tuhanku….”.
Semoga kita selalu dapat menangkis serangan dan rayuan Setan laknat, tentunya hanya dengan pertolongan Allah, Sang Pencipta alam semesta dan Pencipta Malaikat, Iblis, Setan, dan Pencipta kita semua. Alloohumma Inni A’uudzubika Min Hamazaatis Syayaathiin Wa a’uudzubika Robbii an yahdhuruun. Amiiin.

Rabu, 04 April 2012

Lemah Lembut dan Tidak Tergesa-gesa



Dua Kisah tentang Ketergesaan
Sebuah kisah indah pernah dituturkan oleh Hasan al Bashri. Ada seorang lelaki yang meninggal dunia, dia meninggalkan seorang anak lelaki dan seorang budak wanita. Dalam wasiatnya, sang bapak menyerahkan budak wanita itu kepada anak lelakinya.Si budak wanita sangat giat merawat anak lelaki itu. Akhirnya anak lelaki itupun menyukai budak wanita dan menikahinya.
Suatu saat anak lelaki minta izin pada budak wanita yang kini telah menjadi istrinya.
“Siapkan perbekalan karena aku akan pergi lama mencari ilmu.” Kata suami
Disiapkanlah perbekalannya. Sebelum berangkat, suami mendatangi seorang ‘alim dan meminta nasihat sebagai bekal kepergiannya. Orang alim itu berkata “Bertakwalah kepada Allah, sabarlah, dan jangan engkau terburu-buru.”
Sang suami tidak pernah melupakan nasihat itu dalam perjalanannya mencari ilmu. Sampai suatu saat ia pulang ke rumah. Saat memasuki rumahnya, ia mendapati istrinya sedang tidur sementara di sebelah istrinya itu ada seorang lelaki yang juga tidur.
“Saya tak sabar untuk membunuhnya.” Lalu dia kembali ke kendaraannya mengambil pedang. Saat itulah ia teringat dengan nasihat orang alim. Maka ia tidak jadi mengambil pedangnya. Ia kembali masuk ke rumah. Saat berada di dekat kepala lelaki yang tidur di sebelah istrinya ia kembali berkata “Aku ingin membunuhnya.”Ia pun kembali keluar menuju kendaraannya untuk mengambil pedang tetapi kemudian teringat kembali pada nasihat orang alim. Maka urung lagi niatnya mengambil pedang dan kembali masuk rumah.Begitu berturut-turut sampai 3 kali.
 Saat itu lelaki yang tidur di samping istrinya telah bangun dan bertanya kepadanya apa yang terjadi. Suami menjawab “Aku mendapatkan kebaikan yang sangat banyak setelah meninggalkanmu. Ketahuilah, aku telah berjalan di antara pedang dan kepalamu sebanyak 3 kali. Namun ilmu telah menghalangiku dari membunuhmu.”
Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad dengan sanad hasan. Dalam syarahnya dijelaskan bahwa ternyata sang istri masih memiliki hubungan mahrom dengan lelaki yang tidur di sampingnya.

Ukhti fillah,                                                                                                                                                                  
Suatu hari, saat  Rasulullah SAW shalat, beliau mendengar suara gaduh di belakang. Seusai shalat Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, apa gerangan yang telah terjadi, sehingga terdengar suara gaduh pada saat shalat? Para sahabat menjawab: “Kami tergesa-gesa mendatangi shalat”. Rasulullah SAW kemudian bersabda: ” Jika kalian mendatangi shalat hendaklah kalian (berjalan dengan) tenang. Ikutilah raka’at yang dapat kalian ikuti dan sempurnakanlah raka’at yang tertinggal.” (HR Bukhari Muslim).
Apakah Tergesa-gesa itu?

Tergesa-gesa adalah kondisi psikologis seseorang yang secara emosional ingin cepat-cepat melakukan sesuatu, kosong dari pertimbangan fikiran. Karena tanpa pertimbangan terlebih dahulu, maka aktivitas yang dilakukannya juga tidak produktif.

Menurut bahasa, kata isti’jal, i’jal, dan ta’ajul memiliki satu arti, yaitu : menuntut sesuatu dikerjakan atau diselesaikan dengan cepat atau segera.
Isti’jal Adalah Bakat Kita
Sesungguhnya manusia memang diciptakan bersifat tergesa-gesa atau isti’jal. Seorang ibu seringkali ingin anak balitanya cepat bisa berjalan, ketika telah bisa berjalan maka sang ibu seolah tidak sabar menunggu anaknya bisa membaca maka kemudian ia menuntut, kasar, mengancam, bahkan marah-marah. Seorang daiyah selalu ingin  obyek dakwahnya menunjukkan perubahan signifikan secepat mungkin. Maka kemudian dia terjebak kepada sikap-sikap yang keras dan cenderung mematahkan, entah mematahkan hati obyek dakwahnya, bahkan mematahkan proses dakwah itu sendiri. Seorang lajang tentu ingin cepat menggenapkan separuh din nya. Menikah. Maka kemudian ia tergesa-gesa. Memang Rasulullah menekankan urgensi  menikahkan yang masih lajang di antara kita. Tetapi bersegera tentu sangat berbeda dengan tergesa-gesa. Bersegera didahului oleh persiapan yang matang, berangkat dari pemikiran dan pertimbangan yang jelas, kalkulasi yang matang, baru kemudian mengeksekusi. Tetapi ketergesaan biasanya hanya bermodalkan semangat dan dorongan jiwa semata.
Sebab-Sebab Isti’jal
1. Dorongan jiwa.
Sebagaimana yang telah diutarakan, bahwa isti’jal adalah bagian dari watak dasar  manusia, maka sampai kapanpun tak mungkin bisa kita ingkari apalagi berusaha kita lenyapkan dari kemanusiaan kita karena Allah memang sudah melekatkan sifat ini kepada kita seperti dalam firmanNya
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa” (QS. 21:37)
Maka semangat ketergesaan ini harusnya diolah dan diarahkan sehingga nantinya meledak di saat yang tepat. Untuk menanggulangi dorongan jiwa yang satu ini tentu tidak ada jalan lain selain mengokohkan ruhiyah kita. Kokohnya ruhani akan membuat jiwa kita senantiasa tenteram dan sejuk. Seandainya air, maka orang yang ruhaninya kokoh adalah samudera. Ia luas dan dalam, ketika dilempar sebuah batu ke dalamnya ia tak akan beriak sedikitpun bahkan mungkin berbunyi pun tidak. Tetapi orang yang ruhaninya ringkih maka ia adalah air di mangkok kaca, menciprat kemana-mana bahkan hanya dengan sebutir kerikil. Insya Allah,  dengan ruhani yang kokoh bakat ketergesaan kita menjadi lebih proporsional
2. Pengaruh perkembangan zaman
Zaman dimana kita hidup kini adalah zaman dimana segala sesuatu bergerak dengan cepat. Seseorang yang pagi harinya berada di Jakarta beberapa saat kemudian sudah bisa berada di Cairo, berita yang terjadi di belahan dunia bisa kita saksikan pada saat yang bersamaan. Gejala seperti inilah yang menjalar dan terserap oleh diri kita pelan tapi pasti, bahkan mungkin tanpa kita sadari. Sejak anak-anak (golden age) kita sudah sering diyakinkan atau teryakinkan bahwa yang cepat itu dihargai lebih baik. Kita sering dengan begitu eksplisit menunjukkan kekaguman kita di depan anak kita ketika mendengar anak teman kita sudah bisa membaca lalu seolah tidak cukup kita sempurnakan luka hati anak kita dengan memohon memelas “Bagi resepnya dong ukh, anakku lho nyambung 3 huruf aja masih bingung, gimana ya?”
Seorang ibu yang tergesa akan panik melihat anak-anak sebaya sudah bisa membaca sementara anaknya belum, tapi seorang ibu yang bersegera akan mengintrospeksi dirinya, terus mencari metode pembelajaran yang paling tepat untuk anaknya, dan memperbaikinya. Seorang lajang yang belum jua dipertemukan dengan soulmate nya sementara teman-teman sebaya telah hamil. Sementara pertanyaan, godaan, sindiran, bahkan tuntutan lingkungannya terasa makin massif, akan panik dan mulai mengasihani diri sendiri, bertanya pada cecak di dinding kamar, merenung2 adakah yang salah dengan diriku, bahkan mungkin berburuk sangka kepada orang2 yang ia harapkan ‘seharusnya’ membantunya, atau lebih buruk lagi ia jadi berprasangka buruk kepada Allah. Tetapi seorang lajang yang bersegera menjemput jodoh ia akan semakin giat memperbaiki dirinya baik fisiknya, ibadahnya, akhlaqnya, terlebih imannya.
3. Goal oriented
Pencapaian tentu adalah hal penting, tetapi semata-mata berorientasi pada pencapaian adalah salah satu pupuk subur bagi naluri ketergesaan di dalam diri kita. Kita terlalu sangat peka pada kesuksesan seseorang tapi tidak peka pada proses berdarah-darah di balik kesuksesan itu. Kita lebih sering menghabiskan waktu untuk mengobrolkan tentang anak ukhti Fulanah yang sudah hafal 10 juz daripada mengobrolkan apa-apa saja yang telah dilakukan oleh sang ummi demi tercapainya 10juz itu.
Israel mencapai kedudukan mereka sekarang tidak dengan serta merta, mereka sangat terorganisir, merencanakan dengan matang bahkan mengkader putra-putri mereka jauh sejak masih di dalam kandungan. Atau marilah kita lihat bagusnya system kerja setan. Sepanjang hari mereka tidak pernah berhenti sedetikpun dari azzamnya untuk menyesatkan kita. Bahkan materi-materi (rasmul bayan?)nya mereka entah bagaimana caranya bisa mengendap sangat dalam di alam bawah sadar kita, ini terbukti ketika mereka libur rehat di bulan Ramadhan, ajaran mereka masih lestari di sebagian kepala ummat Islam sehingga tidak sulit menemukan muslim yang tanpa malu-malu menenggak es kopyor di siang hari Ramadhan tepat di persimpangan yang ramai.
Dalam dakwah,  fenomena ketergesaan ini membuat kaum muslim menanggapi kesuksesan musuh-musuh Islam sebagai kejadian yang terjadi begitu saja, tanpa mau memahami bahwa untuk semua itu mereka melalui jalan yang panjang dan berliku-liku dengan strategi dan tahap-tahap tertentu dan disertai pengorbanan yang tidak sedikit. Dari sinilah banyak yang ‘nggak sabaran’ ingin mewujudkan keinginan mereka secepatnya sebagai mana orang-orang kafir telah mewujudkan keinginan mereka.
Banyak da’i yang keliru menjadikan natijah/goal/hasil sebagai ghayah dari setiap usahanya dalam dakwah , sehingga tatkala natijah tak kunjung datang, hatinya menjadi tak tenteram dan akhirnya mengarah pada sikap isti’jal. Padahal ghayah seorang muslim adalah mardhotillah dan itu akan terwujud manakala seorang da’i selalu i’tizam dalam manhaj-Nya serta tsabat hingga akhir hayat, terlepas apakah dia berhasil atau tidak, karena yang Allah tuntut adalah usaha seseorang bukan natijahnya.
 Usia da’wah itu sepanjang hidup manusia. Da’wah yang dibangun hari ini adalah fondasi bagi da’wah di esok hari. Maka, sangat berbahaya bila kita membangun da’wah ini dengan sangat tergesa-gesa. Saat fondasinya belum kokoh, kita sudah terburu-buru membangun dindingnya, lalu genting dan atapnya, hanya karena ingin segera menikmati hasilnya. Bisa dipastikan, bangungan da’wah seperti itu akan mudah roboh ditiup angin cobaan.
“Maka siapa yang berharap berjumpa dengan Rabbnya, hendaklah beramal shalih dan tidak menyekutukannya dalam beribadah kepada Rabb-nya.”(QS.18:110)
4. Tak kuat menanggung cobaan
Di zaman Rasul sahabat Khabbab bin Arit pernah mengadu dan mohon agar dia berdoa kepada Allah SWT agar cepat-cepat menurunkan bantuannya setelah beratnya derita dan siksaan yang dilakukan oleh orang-orang kafir kepadanya dan sahabat-sahabatnya. Tetapi untuk pengaduannya itu Rasul masih menganggapnya ‘tergesa-gesa’ sambil membandingkannya dengan umat terdahulu yang tabah dan tsabat (eksis) di atas jalan Allah meskipun ada yang harus menggali kuburan untuk dirinya sendiri, di gergaji kepalanya dan tubuhnya dibelah dua atau ada juga yang disisir dengan sisir besi hingga terkelupas dagingnya sampai ke tulang-tulangnya.
5. Berteman dengan seorang yang memiliki sifat isti’jal.
Manusia adalah anak dari lingkungannya. Pengaruh seorang teman sangat besar sekali dalam membentuk pribadi seseorang, apalagi jika teman tersebut memiliki pribadi yang kuat. Kemungkinan isti’jal akibat pengaruh teman adalah bukan hal yang mustahil. Bukankah Rasulullah saw menegaskan dalam sabdanya, “Seseorang itu tergantung (kualitas) agama teman akrabnya. Maka, hendaknya engkau memperhatikan siapa teman akrabnya” (HR Abu Dawud).
Jalan Untuk Mengobati Isti’jal

  1. Memperhatikan bekas-bekas dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh isti’jal
Tidak ada salahnya kita mengenang-ngenang kembali saat-saat dimana kita pernah melakukan sesuatu dengan ketergesaan. Kita akan ingat betapa ternyata hasilnya lebih sering jauh dari harapan. Ketergesaan itu ternyata lebih sering membawa kita pada penyesalan.
  1. Selalu memperhatikan kitab Allah Azza wa Jalla.
Sesungguhnya Allah telah mencontohkan di dalam penciptaan jagat raya ini. Allah swt menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Menciptakan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan secara bertahap. Tidak ada yang tergesa-gesa. Padahal la swt Maha Mampu untuk menciptakan semua itu sekaligus dan dalam waktu sekejap, dengan sebuah kata “Kun (Jadilah)” seperti dalam firman-Nya, ” Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” maka terjadilah ia” (QS Yaasiin [36]: 82).
  1. Rajin menelaah sunnah dan sirah Nabawiyyah.
Karena dengan begitu kita akan mengetahui bagaimana ujian dan penderitaan yang dihadapi Rasulullah saw. Bagaimana beliau bersabar dan tabah serta tidak beristi’jal. Penderitaan kita yang manakah yang sekiranya lebih berat dari penderitaan Rasulullah. Beliau yatim piatu, bahkan wajah Ayahanda pun tidak tahu. Beliau lebih sering lapar daripada kenyang seumur hidupnya. Orang-orang yang didakwahi beliau tidak hanya mengacuhkan, bahkan menentang dan menyiksa beliau lahir batin. Beliau diludahi, dilempari kotoran, berkali-kali mencoba dibunuh tapi saat Jibril menawarkan untuk membinasakan saja orang-orang yang menentangnya apa jawaban beliau? “Tidak, wahai Jibril. Sesungguhnya aku berharap dari mereka akan lahir keturunan yang menyembah Allah swt” Subhanallah, bahkan ketidaktergesaan beliau melampaui sebuah generasi. Selama 23 tahun mengarungi samudra da’wah, beliau tidak pernah "memaksa" Allah untuk menolong jerih payahnya. Peristiwa pahit saat ia menyebarkan da’wah di Thoif merupakan salah satu buktinya. Kisah tersebut juga menegaskan bahwa da’wah Rasulullah SAW dilakukan sekali kunjung dan sekali jadi, lalu berhasil dengan mulus. Maka bagaimana dengan kita? Yang cuma silaturrahim sebulan sebulan sekali kepada kerabat lalu mengharap mereka terwarnai oleh nilai-nilai Islam secepat mungkin.
  1. Berinteraksi dengan orang-orang berpengetahuan dan berpengalaman.
Pengetahuan itu menumbuhkan, sementara pengalaman mengokohkan. Ibarat pohon, bertambahnya pengetahuan akan membuat engkau makin menjulang rimbun berbunga, dan pengalaman akan membuat akarmu makin kokoh menancap ke dalam bumi. Maka orang-orang yang berpengetahuan sekaligus berpengalaman adalah narasumber terbaik tempat kita bisa belajar dan menimba ilmu. Maka jangan sia-siakan ketika Allah mempertemukan kita dengan orang-orang semacam ini.
  1. Berjuang untuk mengendalikan nafsu dan melatihnya bersikap cermat, hati-hati, tidak terburu-buru, dan selalu mempertimbangkan sesuatu
Terakhir tentu saja dengan berlatih. Alah bisa karena biasa. Kebiasaan itu dibangun, tidak diciptakan. Mungkin awalnya dipaksakan, lama-kelamaan akan menjadi sifat.