menuju-Mu

Rabbana, diriku hanyalah setitik debu di hadapan keagunganMu.
Maka jagalah hati ini,
dari terlihat besar di mata manusia
namun kecil di mataMu
dari terasa baik di mata manusia
namun hina di mataMu
dari merasa benar di mata manusia
namun salah di mataMu
Jadikanlah aku lebih baik dari persangkaan diri dan orang lain

Jumat, 30 Maret 2012

Sakit Sebagai Penguat Iman

“Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kepada Kamilah kalian akan kembali.”(QS.al Anbiya’:35)
Harus meyakini sepenuh hati bahwa ujian bisa berwajah kenikmatan atau kesengsaraan
Kalau kita mendengar kata ‘cobaan’ dan ‘ujian’ maka yang terbayang di benak kita seringkali adalah hal-hal yang tidak menyenangkan. Sakit. Miskin. Jodoh yang tak kunjung datang. Dikhianati pasangan. Dan semua yang tidak sesuai dengan selera kita. Padahal sebagaimana ayat di atas, Allah sendiri menerangkan bahwa ujian dan cobaan itu bisa berwujud kenikmatan atau kesengsaraan.
Maka pemahaman bahwa ujian itu hanyalah yang serba tidak enak harus kita luruskan dulu. Benar-benar diluruskan, bukan hanya diketahui. Saya yakin semua diantara kita sudah tahu bahwa kenikmatan itu juga ujian, tapi untuk benar-benar menghujamkannya dalam hati, meyakininya sepenuh jiwa, adalah sungguh sangat sulit.
Tapi sulit bukan berarti tidak bisa. Maka kuncinya adalah tidak berhenti mencoba. Mari kita berharap bahwa hati kita ini walaupun sekeras batu, ia akan berlubang juga karena tertetesi air terus menerus.
Implikasi sikap ketika kita telah yakin
Sepenting itukah meluruskan dan menanamkan hal ini? Ya. Karena Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa yang beliau sangat khawatirkan kepada diri kita ini bukanlah ujian kefakiran, tetapi justru beliau sangat takut ketika kita diuji dengan kemegahan dunia.
Ciri dari orang yang telah memahami bahwa ujian itu bisa berupa kenikmatan ataupun kesengsaraan adalah ia tidak terlena di kala senang dan tidak larut di kala susah. Orang-orang ini laksana air di danau yang luas dan dalam, ia tak mudah beriak terkena angin dan tidak terlalu menciprat kemana-mana ketika sebuah batu dilempar ke dalamnya. Maka untuk orang-orang seperti ini, syukur dengan sabar itu nyaris tak ada bedanya. Kalau kita (terpaksa) bersabar saat sengsara maka mereka mampu bersabar saat mendapat nikmat. Sehingga mereka tetap biasa saja saat suaminya naik pangkat, saat anaknya baru lulus cum laude, saat habis beli jilbab baru. Demikian pula kalau kita bersyukur saat mendapat nikmat maka orang-orang ini mampu bersyukur saat mendapat kesengsaraan.
Ujian penyakit adalah ujian paling berat sesudah ujian terhadap keimanan
Tapi begitulah memang sifat manusia. Buat kita, ujian kesengsaraan itu memang terasa lebih berat. Yang paling berat mungkin adalah ketika kita diuji sakit. Rasulullah sendiri mengakui bahwa kesehatan itu adalah kenikmatan yang paling besar. Beliau mengatakan bahwa setelah keimanan tak ada lagi yang patut kita minta selain kesehatan. Kesehatan adalah pintu menuju semua kenikmatan. Apalah artinya makanan lezat dan mahal, uang berlimpah untuk liburan ke luar negeri, istri cantik dan seksi, rumah luas dan megah tapi kita cuma bisa bergolek di ranjang rumah sakit kelas 1 berbalut selang-selang.

Mengapa kita diuji sakit?
Mengapa Allah memberikan kita ujian sakit? Tentu Allah tidak berhak dipertanyakan mengenai apapun keputusanNya. Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Tapi setidaknya ada beberapa hal yang ada di balik sakit ini:
1.       Sakit sebagai penebus dosa
2.       Sakit sebagai pengingat dan penguji kualitas kesabaran seseorang
3.       Sakit sebagai tangga mencapai derajat yang lebih tinggi di sisi Allah
Bahkan secara hablum minannaas, ujian sakit ini bisa mempererat ukhuwah yang sebelumnya mungkin merenggang. Dengan begitu banyaknya kesibukan kita masing-masing seringkali aktivitas saling kunjung mengunjungi ini seolah sudah luntur. Apalagi dengan kemajuan tekhnologi komunikasi hampir tidak ada seorangpun yang tidak punya handphone maka saling bertamu itu sepertinya sudah menjadi barang langka.
Berkunjung di saat sakit tentu akan menimbulkan kesan yang sangat mendalam baik bagi yang sakit ataupun yang mengunjungi. Sering sekali dendam, kebencian, kesalahpahaman yang terjadi menjadi luruh saat melihat orang yang kita benci itu jatuh sakit. Begitu pula kalau kita yang sakit, kebencian kita bisa berubah menjadi keharuan karena merasa diperhatikan.
Bagaimana sikap kita ketika sakit ?
Tak seorangpun di jagat raya ini menginginkan sakit, tapi kalaupun Allah menakdirkan sebuah penyakit sebagai ujian untuk kita maka sikap yang bagaimana yang menjadikan sakit ini bernilai ibadah?
1.       Husnuzhon billah (berbaik sangka kepada Allah)

“Janganlah seseorang meninggal kecuali dalam keadaan baik sangka kepada Allah.”(HR.Muslim)

Menderita suatu penyakit jelas menderita. Dari sakit pilek sampai sakit jantung pasti melahirkan penderitaan. Derita fisik jelas, kepala cenat cenut, hidung tersumbat, bahkan derita-derita fisik yang di luar bayangan kita. Derita finansial juga. Biaya pengobatan tentu tidak murah. Padahal berobat itu tidak bisa direncanakan dan tak bisa ditawar. Derita emosional apalagi. Saat sakit tentu hati ini jadi sangat sedih, cemas, takut, khawatir, bahkan kadang marah.

 Jadi sebenarnya dengan menderita sakit saja kita sudah punya penderitaan komplit. Mengapakah harus kita tambahkan lagi dengan pikiran-pikiran buruk yang intinya berburuk sangka kepada Allah? ‘Wah, jangan-jangan Allah tidak mengampuni dosaku lalu aku dihukum seperti ini’. Daripada berpikiran seperti itu mengapa tidak kita rubah sedikit menjadi ‘Oh, Tuhanku Allah ingin menghapus dosaku yang kemarin itu karena Ia tidak ingin aku dibalas di akhirat.’ Ini sangat penting, karena Allah itu mengikuti prasangka hambaNya, jadi silahkan pilih sendiri.

Perlu diingat pula bahwa semangat husnudzon ini juga harus kita hidupkan saat bukan kita yang sakit tetapi saudara kita. Misalkan ketika kita mendengar Bu Fulanah ternyata menderita kanker tenggorokan janganlah lantas kita berkata ‘Pasti itu balasan Allah karena dia kan suka berghibah’. Prasangka-prasangka buruk semacam ini tidak patut kita pelihara.

2.       Sabar

“Jika kubebankan kemalangan untuk salah seorang hamba-Ku pada badannya, hartanya, atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada hari Kiamat atau membukakan buku catatan amal baginya.” (HR.al Qudha’I, ad Dailami, dan at Tirmidzi, dari Anas)

Betapa luar biasa balasan sabar itu sampai-sampai seperti disebutkan dalam hadits di atas bahwa Allah swt merasa sungkan untuk mengadili orang-orang yang sempurna kesabarannya. Pantaslah, karena memang sabar itu sangatlah sulit.

Kesabaran yang sempurna adalah kesabaran yang seperti didefinisikan Rasulullah yaitu ‘sabar pada pukulan pertama’. Sabar pada pukulan pertama adalah sabar yang natural, ia lahir dari dalam  jiwa kita yang paling murni. Orang yang mampu bersabar pada pukulan pertama adalah orang yang hatinya bersih dan terlatih.

Saat kita mendengar vonis dokter pertamakali bahwa keluarga dekat kita menderita kanker ganas misalkan, di situlah pukulan pertama. Di situlah hasil penempaan diri dan ibadah kita selama ini terlihat. Hati yang tak rajin kita sirami dengan syukur, yang kering dari pengenalan sifat Rahman Rahimnya Allah, tentu akan berontak, ia bertanya ‘kenapa harus keluargaku?’ ‘kenapa harus aku’ ‘kenapa sekarang’ . Lalu beberapa saat kemudian, setelah melewati masa-masa shock kita bisa mulai menerima kenyataan, mulai belajar bersabar, dan akhirnya benar-benar bersabar.

Berarti sabar setelah melewati pukulan pertama itu tidak ada nilainya di sisi Allah? Tentu tidak. Karena yang namanya bersabar itu tidak pernah mudah. Sabar itu bukan titik, tapi garis. Tetapi yang memiliki nilai luar biasa itu, yang disebut Allah sebagai kesempurnaan sabar, a perfect patience, adalah sabar pada pukulan pertama.
Menghadapi sakit maka tidak ada pilihan lain bagi kita selain bersabar. Sabar itu sendiri ada beberapa macam:
1.       Sabar menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan
2.       Sabar dalam melakukan ketaatan
3.       Sabar dalam meninggalkan larangan

3.       Bersyukur

“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka ditimpakannya cobaan kepada kaum itu.”(HR.Bukhari)

Bicara tentang mensyukuri kesengsaraan artinya kita mencoba masuk ke wilayah orang-orang yang luar biasa ketangguhan imannya. Kalau boleh saya istilahkan, inilah orang-orang yang sudah sampai pada tahap mahabbah: jatuh cinta kepada Allah. Ketika seseorang telah jatuh cinta kepada Allah, maka tidak penting lagi baginya nikmat atau sengsara. Apapun yang diberikan oleh Kekasihnya, ia ridho, ia rela.

Inilah orang-orang yang bangga dan bahagia diletakkan Allah dalam kemiskinan karena baginya itu adalah tanda cinta dari Sang Kekasih yang tak ingin dirinya kelak terlalu lama diusut di hari Perhitungan. Inilah wanita-wanita yang tersenyum bangga ketika putra-putra tersayang mereka pulang tanpa nyawa dari medan jihad karena bagi mereka itu adalah tanda bahwa Allah memilih rahim mereka sebagai tempat lahirnya para syahid penghuni surga. Dan mungkin inilah wanita-wanita yang merasa tersanjung ketika Allah menakdirkan suami mereka menginginkan untuk menikah lagi karena di benak mereka itu adalah kasih sayang Allah yang memilih mereka menjadi special women-wanita yang akan masuk surga dari pintu manapun mereka mau.

Yah, hanya orang-orang istimewa yang mampu mensyukuri sakitnya. Tapi memang ini bukan dongeng. Memang ada segolongan orang yang jiwanya tetap penuh rasa takjub kepada Allah tidak saja di kala sakit pilek atau sakit ringan bahkan saat menderita sakit langka yang rasa sakitnya mungkin tak pernah kita bayangkan.

Mereka lebih memilih hukuman di dunia daripada Allah melaksanakan hukuman itu di akhirat, karena kepedihan dunia ini, bahkan kepedihan dunia yang paling pedih sekalipun tak akan bisa menandingi kepedihan azab Allah di akhirat bahkan kepedihan akhirat yang paling ringan sekalipun.

4.       Istighfar dan menghisab diri

Kata Umar bin Khattab, semua kita nanti akan dihisab, jadi sebelum itu terjadi sering-seringlah
mencoba menghisab diri kita sendiri dulu sekarang. Toh sudah dijelaskan oleh Rasulullah apa saja nanti bahan-bahan interogasinya. Maka idealnya kita sering-sering mengingat pertanyaan-pertanyaan apa yang nanti harus kita jawab, dan mengira-ngira apakah nanti jawaban kita akan membawa kita kepada surganya Allah atau nerakanya Allah.

5.       Tawakal

“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dan menjadikan untuk kalian bahwa setiap penyakit ada obatnya. Karena itu berobatlah, tapi jangan berobat dengan barang haram.”(HR. Abu Dawud)

 Tawakal adalah perpaduan antara sabar, ikhtiar, dan doa. Yang perlu dipahami hanyalah bahwa ikhtiar tidak boleh sampai keluar dari kerangka syar’i. Dan Allah juga tidak mengizinkan seseorang berdoa meminta kematian atau mengharap mati. Jika suatu saat penderitaan sakit itu telah sangat menguras kesabaran dan kekuatan kita maka kata Rasulullah kita dianjurkan mengucapkan doa ‘Ya Allah, hidupkanlah aku selama hidup itu baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika wafat itu lebih baik untukku.’
Keistimewaan di balik penyakit
Tak seorangpun senang menderita penyakit walaupun ada kompensasi besar di baliknya. Saya yakin tak seorangpun mau dibayar 100 trilyun untuk menderita penyakit kanker , bahkan seluruh dunia dan seisinya pun tak akan mungkin menggantikan kesehatan kita. Begitupun saat Allah menerangkan ada keutamaan-keutamaan bagi orang sakit tidak untuk membuat kita senang sakit, melainkan agar kita masih ingat bahwa di balik penderitaan kita ada banyak keistimewaan yang disediakan Allah.
1.       Doa yang mustajab
“Jika kamu datang mengunjungi si sakit, maka mintalah ia berdoa untukmu karena doanya seperti doa malaikat (yakni besar kemungkinan dikabulkan).”(HR.Ibnu Majah, dari Umar ra)
 Bagaimana rasanya ketika orang terdekat kita sakit? Anak kita misalkan. Kita tanyakan dia mau makan apa, adakah yang diingankannya, kita hindari apapun yang tidak disukainya. Seolah apapun permintaannya ingin betul kita kabulkan.
Begitupun Allah pada kita yang tentu cinta Allah pada kita jauh lebih besar bahkan tak pantas dibandingkan dengan besarnya cinta kita pada anak kita. Maka banyak-banyaklah mengucap doa saat sakit, karena saat itu kita sedang diistimewakan Allah dengan diturutinya semua permintaan kita layaknya anak kecil pada orangtuanya.

2.       Surga
“Jika Aku menguji hamba-Ku dengan (menghilangkan penglihatan)kedua mata yang sangat dicintainya kemudian ia sabar, Aku akan menggantinya dengan surga.”(HR.Ahmad dari Anas dan Thabrani , dari Jarir ra)

 Kalau kita perhatikan biasanya yang diambil dulu dari seorang yang sudah memasuki usia senja itu adalah penglihatannya, bukan? Hadits ini juga bisa menjadi motivasi untuk kita bersabar jika nanti Allah menakdirkan kita untuk sampai pada usia senja dan mengangkat penglihatan kita lebih dulu. Insya Allah itu adalah salah satu peluang mencuri surga.

Seorang wanita hitam pernah datang mengadu kepada Rasulullah saw,’Saya ini sering jatuh pingsan dan terbuka aibku, maka doakanlah untukku agar Allah menyembuhkanku.’
Jawab Nabi,’Jika anda mau, anda terima itu dengan sabar  dan sebagai ganjarannya anda mendapat surga. Atau kalau tidak, saya doakan agar Allah menyembuhkanmu.’
Maka wanita itupun akhirnya hanya meminta Nabi mendoakan agar auratnya tidak terbuka.

3.       Pahala ibadah seperti saat sehat
“Jika Aku menguji salah seorang hamba-Ku yang beriman, lalu ia memuji-Ku atas ujian itu, maka berilah dia pahala sebagaimana pahala yang biasa kalian berikan kepadanya.”(HR.Ahmad dan Thabrani)

Yang sudah biasa qiyamul lail lalu libur beberapa hari karena flu berat misalkan maka tetaplah ia akan dicatat persis seperti apa yang ditunaikannya saat sehat. Yang biasa puasa Dawud lalu tiba-tiba harus libur karena diare maka hari-harinya tetap tercatat berpuasa sebagaimana saat sehat.

Jadi sebenarnya, karena kita tidak tahu sampai kapan kita masih akan disehatkan oleh Allah, membangun ibadah sebaik-baiknya selagi fisik memungkinkan itu ibarat investasi. Sewaktu-waktu kita terhalang dari melakukannya maka keuntungannya, laba usahanya tetap mengalir ke kantong kita.

Jadi saudaraku, sehat dan sakit adalah dua keadaan yang secara bergantian akan dialami oleh setiap orang. Sebagian penyakit berakhir dengan kesembuhan dan sebagian yang lain berakhir dengan kematian. Dan Allah sendiri telah mengatakan bahwa setiap yang hidup pasti akan mati. Jika ajal itu telah tiba, tak ada sesuatupun bisa memajukan atau memundurkannya walaupun sekedip mata.
Sakit memang adalah pintu terdekat menuju kematian. Pada kenyataaannya ada penyakit yang membawa penderitanya pada kematian yang datang mendadak seperti serangan jantung, pendarahan otak, dll. Ada penyakit yang membawa pada proses sakit yang panjang sebelum tiba pada kematian seperti penyakit kanker.
 Sakit adalah sebuah penderitaan, sebuah ujian kesengsaraan, wajar sebagai manusia kita takut, cemas, dan tidak mengharapkan itu terjadi pada diri kita, keluarga kita, teman-teman dan orang-orang yang kita sayangi. Tapi begitulah, penyakit adalah bagian dari kasih sayang Allah, bagian dari takdir Allah. Maka kemanapun kita bersembunyi tentu ia akan mendapati kita juga. Jadi yang penting bukan sakit atau penyakit apa yang nanti akan membawa kita pada gerbang kematian. Tetapi kesiapan kita untuk selalu ridho terhadap apapun keputusan Allah, apapun pilihan Allah untuk kita. Manusia yang beruntung itu bukan saja manusia yang mampu berbuat yang terbaik, tetapi lebih penting adalah yang mampu bereaksi terbaik atas jalan yang disiapkan Allah untuk kita.
Semoga Allah menjauhkan kita dari ujian yang tak sanggup kita tanggung, dari kesengsaraan yang justru menjauhkan kita dari ridhoNya. Sesungguhnya rumus hidup ini adalah sesederhana apa yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW yaitu bersyukur bila senang dan bersabar bila sedih.
Wallahu ‘alam